kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menilik Minat Konglomerat di Bisnis Nikel, Apa Saja yang Perlu Dicermati?


Selasa, 10 Mei 2022 / 19:33 WIB
Menilik Minat Konglomerat di Bisnis Nikel, Apa Saja yang Perlu Dicermati?
ILUSTRASI. Nikel. REUTERS/Yusuf Ahmad (INDONESIA - Tags: ENERGY BUSINESS EMPLOYMENT)


Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kilau prospek bisnis nikel memikat minat konglomerat. Hal ini dibuktikan dengan jamaknya konglomerat yang memutuskan untuk memasuki bisnis nikel.

Terbaru, entitas anak dari perusahaan milik Kiki Barki dan keluarga Barki, yakni PT Harum Energy Tbk (HRUM), mengambil bagian atas 250.000 saham baru dalam PT Westrong Metal Industry pada tanggal 27 April 2022 lalu.

Jumlah tersebut mewakili 20% dari total modal yang ditempatkan dan disetor PT Westrong Metal Industry. Transaksi ini dilakukan melalui anak perusahaan HRUM, yaitu  PT Harum Nickel Industry  (HNI). Harga pengambilan bagian saham ini adalah sebesar US$ 75 juta.

Baca Juga: Gencar Ekspansi ke Bisnis Nikel, Simak Rekomendasi Saham Harum Energy (HRUM)

Westrong Metal Industry merupakan perseroan terbatas yang bergerak di bidang pemurnian nikel (smelter). Smelter milik Westrong Metal Industry yang menggunakan teknologi rotary kiln electric furnace (RKEF) berikut infrastrukturnya direncanakan akan mulai dibangun dalam tahun ini di kawasan Industri Weda Bay di Kabupaten Halmahera Tengah dengan kapasitas produksi tahunan antara 44.000 sampai 56.000 ton. Outputnya berupa nikel dalam bentuk feronikel/nickel pig iron.

Dalam wawancaranya dengan Kontan.co.id sebelumnya, Direktur Utama Harum Energy Ray Antonio Gunara mengatakan bahwa pembelian saham di PT Westrong Metal Industry merupakan kelanjutan dari strategi diversifikasi usaha HRUM ke industri nikel.

Sumber dana untuk membiayai investasi di PT Westrong Metal Industry seluruhnya berasal dari kas internal HRUM. “Investasi ini diharapkan akan menambah kapasitas produksi nikel Perseroan ke depannya,” terang Ray kepada Kontan.co.id, Selasa (10/5).

Langkah pengambilan bagian saham Westrong Metal Industry melengkapi upaya HRUM untuk merangsek ke bisnis nikel. Kontan.co.id mencatat, sebelumnya perusahaan batubara ini juga telah menambah kepemilikannya di PT Infei Metal Industry (perusahaan pemurnian nikel) pada Desember 2021 melalui anak usahanya yang bernama PT Tanito Harum Nickel, dan juga menambah kepemilikan sahamnya di perusahaan tambang nikel asal Australia, yaitu Nickel Mines Limited pada Mei 2021 lalu.

Kiki Barki bukan satu-satunya konglomerat yang melirik bisnis nikel. Kontan.co.id mencatat, Kalla Group melalui PT Bumi Mineral Sulawesi juga memiliki agenda untuk membangun smelter nikel di Sulawesi dengan menggandeng Posco, perusahaan asal Korea Selatan. 

Selain itu, ada pula Jhonlin Group milik Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam. Kontan.co.id mencatat, Jhonlin Group memilki agenda untuk menginvestasikan US$ 440 juta atau setara sekitar Rp 6,3 triliun untuk membangun  smelter nikel di Kalimantan Selatan.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli mengatakan, pihaknya menyambut positif antusiasme pelaku usaha untuk menanamkan investasi di sektor pengolahan nikel.

“Perhapi tentu menyambut positif atas antusias pelaku usaha yang bersedia menanamkan investasi ke sektor Pertambangan, khususnya pengolahan mineral nikel, sebab investasi di sektor ini, selain beresiko tinggi, juga membutuhkan modal yang sangat besar,” ujar Rizal kepada Kontan.co.id (10/5).

Menurut Rizal, investasi di sektor pertambangan mineral bisa memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan regional. Selain itu, hal ini diyakini Rizal juga bisa memberikan multiplier effect bagi masyarakat dan pemangku kepentingan terkait.

Baca Juga: Perusahaan Batubara Ramai-Ramai Rambah Industri Nikel

Meski begitu, Rizal menilai bahwa pemerintah dan pelaku usaha juga perlu mencermati beberapa hal mengenai nikel Indonesia. Pertama, Perhapi menilai bahwa eksplorasi cadangan nikel saprolite serta juga pembatasan pabrik nikel berbahan baku saprolite menjadi perlu dilakukan jika kelangsungan operasi pabrik nikel eksistinh yang berbahan baku saprolite ingin dijaga.

Berdasarkan catatan Perhapi, saat ini telah ada lebih dari 30 perusahaan pabrik pengolahan nikel yang beroperasi di Indonesia. Sebagian besar dari pabrik tersebut merupakan pabrik pengolahan nikel dengan teknologi pirometalurgi atau peleburan yang bahan bakunya berupa nikel tipe saprolite berkadar nikel tinggi. 

Di sisi lain, cadangan nikel tipe saprolite di Indonesia hanya bisa memasok kebutuhan bahan baku seluruh pabrik tak lebih dari 10 tahun berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 

Oleh karenanya, investasi pabrik pengolahan berbahan baku nikel saprolite jika tidak dibatasi dan diawasi dengan baik, menurut Rizal, bisa menyebabkan terjadinya fenomena bubble industry, yaitu industri yang terus membesar namun bisa ‘meletus’ sewaktu-waktu. 

“Jika eksplorasi lanjutan untuk menemukan cadangan nikel saprolite tidak dilakukan, serta pembatasan pabrik nikel berbahan baku saprolite tidak diterapkan oleh Pemerintah, maka bisa dipastikan, pabrik-pabrik nikel tersebut akan berhenti beroperasi karena ketiadaan bahan baku,” tutur Rizal.

Lebih lanjut, Rizall menilai bahwa pemerintah sebaiknya mendorong investor untuk menanamkan investasi di pengolahan nikel yang memanfaatkan nikel tipe limonite atau nikel Kadar rendah, yang jumlah cadangannya masih sangat besar. Angka cadangan nikel tipe limonite atau nikel kadar rendah,  kata Faisal, diperkirakan masih sangat besar, yakni sekitar 2.7 miliar ton, sementara pabrik pengolahan yang menggunakan nikel limonite menurut catatan Perhapi masih sedikit.

Ketika diproses dalam pabrik dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL), nikel tipe ini dapat menjadi bahan baku aneka Industri high tech, seperti untuk bahan baku baterai mobil listrik, super alloy dan lain-lain.

Catatan lainnya, Rizal juga berpendapat bahwa pemerintah, dalam hal ini BKPM, Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM, harus segera bersama-sama memformulasikan kebijakan untuk membangun ekosistem yang berkelanjutan di Industri berbasis nikel. 

Baca Juga: Permintaan Meningkat, APNI Optimistis Investasi di Industri Nikel terus Tumbuh

Rizal mencatat, saat ini ekosistem Industri berbasis nikel belum terbentuk secara sempurna. Investasi yang masuk didominasi dengan rencana investasi di sektor hulu, yaitu di bagian pertambangan dan pengolahan yang menghasilkan intermediate product atau produk antara alias produk setengah jadi.

Walhasil, hampir keseluruhan produk antara yang dihasilkan tersebut masih diekspor keluar negeri lantaran belum tersedianya Industri di dalam negeri yang mampu menyerap dan mengolahnya menjadi aneka produk jadi. 

“Padahal, nilai ekonomi dan nilai strategis atas produk jadi tersebu jauh lebih besar dibandingkan dengan produk antara. Sayangnya, negara di luar yang saat ini menikmati keuntungan dari pabrik pengolahan nikel di Indonesia, dengan dijadikan sebagai bahan baku produk Industri yang bernilai tinggi. Notabene, produk jadi tersebut kembali diimpor Indonesia, dengan harga jual yang naik berkali lipat,” imbuh Rizal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×