kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Menilik Perpres harga listrik energi terbarukan, mampukah terbit di Januari 2021?


Minggu, 03 Januari 2021 / 19:41 WIB
Menilik Perpres harga listrik energi terbarukan, mampukah terbit di Januari 2021?
ILUSTRASI. PLN. KONTAN/Fransiskus Simbolon/31/01/2018


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembelian Tenaga Listrik Energi Terbarukan (ET) oleh PT PLN (Persero) belum juga terbit. Padahal, pemerintah sudah gembar-gembor mematok target untuk menerbitkan beleid tersebut pada tahun 2020 lalu.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana belum bisa memastikan kapan jadinya Perpres tersebut diterbitkan. Kata dia, proses masih berjalan dan Rancangan Perpres (RPerpres) sedang dalam tahap pembubuhan paraf dari menteri terkait. 

Selain dari Kementerian ESDM, ada sejumlah kementerian lain yang terlibat dalam RPerpres ini, antara lain Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN. "RPerpres masih dalam proses pemarafan oleh Menteri terkait. Tidak bisa memastikan kapan terbitnya, proses sekarang masih berjalan," kata Dadan saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (3/1).

Asosiasi dan stakeholders di sektor energi terbarukan pun menagih Perpres tentang harga ET tersebut, dan berharap bisa segera diterbitkan. Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma menegaskan, beleid ini dibutuhkan oleh para pelaku usaha yang selama ini menemui kendala pengembangan ET dari regulasi yang ada, yakni Permen ESDM No. 50 Tahun 2017.

"Harapannya tentu saja akan banyak perubahan dan kepastian berusaha dengan Perpres yang akan diterbitkan," kata Surya kepada Kontan.co.id, Minggu (3/1).

Baca Juga: Menteri BUMN Erick Thohir pastikan PLN siap dukung era kendaraan listrik

Menurutnya, RPerpres tentang pembelian listrik dari ET ini sebenarnya sudah cukup lama dibahas, termasuk bersama stakeholders terkait. Kata dia, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pun sudah mengirimkan usulan kepada Presiden.

Surya berharap, Perpres ini bisa segera terbit pada bulan Januari ini. "Kita berharap Januari sudah ada kepastian terbitnya peraturan tersebut agar pengembangan energi terbarukan dapat bergerak lebih cepat. Sebaiknya Januari sudah ada, agar bisa memiliki kepastian berusaha dalam tahun 2021," tegas Surya.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpandangan, seharusnya Presiden segera menandatangani Perpres tersebut sehingga memberikan sinyal positif kepada investor lokal dan asing dalam pengembangan energi bersih. Kata Fabby, sejatinya ini merupakan momentum yang tepat untuk menarik investasi dalam mendukung pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19.

Apalagi, Perpres tentang harga listrik dari ET ini juga menjadi salah satu indikator untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mencapai target bauran ET 23% pada 2025. "Target sebelumnya akhir Oktober, lalu Desember, sekarang mundur lagi. Sudah satu tahunan prosesnya. Kalau prioritas, harusnya jangan terlalu lama prosesnya," tegas Fabby.

Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) juga menyoroti RPerpres ini. Setidaknya ada empat poin yang secara substansi disoroti Ketua APPLTA Riza Husni dari RPerpres tersebut. 

Pertama, Feed in Tarif (FiT) idealnya dilakukan sampai dengan kapasitas 20 Megawatt (MW). "Misalnya 0-5 MW tarifnya fix sekian, 5-10 MW sekian, 10-20 MW sekian. Nah, di atas 20 MW diberikan floor tarif, jadi ada dasarnya dalam negosiasi," jelas Riza.

Dengan adanya tarif dasar, dia menilai negosiasi akan lebih cepat untuk menghasilkan kontrak jual-beli listrik (PPA). Sebaliknya, jika skemanya tarif atas, maka negosiasi akan sulit menghasilkan PPA yang mendorong pengembangan ET. "Misalnya diberi plafon 100, nantinya bisa 99, bisa 50, bisa 40, range-nya terlalu luas. Tarif atas tidak pernah berhasil," sambung Riza.

Usulan kedua adalah untuk menambahkan pasal yang memungkinkan adanya kemudahan untuk amandemen kontrak. "Misalnya yang sudah merencanakan 10 MW, tapi ada potensi menjadi 20 MW, kasih kesempatan untuk menubah PPA dengan mudah," kata Riza.

Menurutnya, adanya kemudahan untuk melakukan amandemen kontrak justru akan mendorong percepatan energi terbarukan di Indonesia. "Kalau memang serius ingin mempercepat, kasih satu pasal dimana bisa penyesuaian," imbuh Riza.

Ketiga, mengenai subsidi jika pembelian di atas Biaya Pokok Penyediaan (BPP). Riza menilai, pemerintah semestinya menetapkan angka yang pasti level tarif yang akan diberikan subsidi untuk memberikan kepastian baik kepada pengembang maupun PLN.

Selain itu, agar bisa meningkatkan kompetitif penggunaan ET dibandingkan energi fosil. Namun, skema subsidi ini mesti yang benar-benar bisa diaplikasikan. "Harusnya pemerintah secara tegas, kalau mau mensubsidi, pada tarif berapa? misalnya jika tarif ET di atas Rp 700 maka akan disubsidi berapa rupiah," ujar Riza.

Keempat, terkait dengan kepastian perpanjangan kontrak. Kata Riza, klausul kontrak akan sangat mempengaruhi ekosistem investasi swasta dalam pengembangan ET. Dia memberikan gambaran, perpanjangan kontrak bisa serupa dengan yang dilakukan pemerintah terhadap pengembang jalan tol.

Hal itu dilakukan untuk mencapai tingkat keekonomian proyek yang lebih menarik. "Seperti di jalan tol, kalau 20 tahun tarif terlalu tinggi, diperpanjang jadi 30 tahun. Jadi kalau kontrak (ET) diberi 20-25 tahun atau 30 tahun, setelah itu jadi apa?" ungkap Riza.

Usulannya, ada kepastian tarif pada siklus perpanjangan kontrak berikutnya. "Misalnya sekarang tarif Rp 1.000, supaya bisnis sustainable, setelah 25 tahun pemerintah akan memperpanjang kontraknya dengan tarif misalnya 50% atau 70% dari tarif hari ini. Yang penting ada tarif yang disepakati bersama, sehingga hitung-hitungannya jelas," terang Riza.

Dia berharap Perpres ini benar-benar bisa meningkatkan ekosistem pelaku usaha dalam berinvestasi mengembangkan ET di Indonesia. Untuk itu, pemerintah diminta mempertimbangkan usulan dari pelaku usaha, asosiasi dan stakeholders sektor ET. "Jangan sampai overdue dan business as usual," pungkas Riza.

Selanjutnya: Ini cara mendapatkan subsidi dan token listrik gratis Januari hingga Maret 2021

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×