Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menilai industri sawit tengah mengalami kontraksi yang berdampak pada melemahnya pemasukan negara akibat penurunan nilai ekspor.
Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung, menyatakan kondisi tersebut terjadi karena regulasi yang diterbitkan oleh kementerian terkait. Hal ini berdampak negatif terhadap industri sawit.
“Terbukti melemahnya pemasukan negara karena ekspor menurun dan terancamnya sektor hulu akibat klaim-klaim kawasan hutan,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (28/6).
Gulat menjelaskan bahwa inkonsistensi regulasi menimbulkan keraguan di kalangan stakeholder sawit. Menurutnya, sawit merupakan industri yang sangat vital yang harus dijaga dari hulu hingga hilir.
Ia menyebutkan bahwa ancaman terbesar bagi industri ini adalah klaim kawasan hutan yang dikenakan melalui Pasal 110 B Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
Baca Juga: Dilema Pasokan CPO untuk Pangan dan Energi
“Kebijakan ini juga mengancam program kemandirian energi Presiden terpilih Prabowo Subianto,” ungkapnya.
Berdasarkan analisis Apkasindo, produksi sawit (Crude Palm Oil/CPO) domestik untuk kebutuhan produksi B40 dinilai masih mencukupi. B40 adalah bahan campuran biodiesel pada BBM solar. Namun, jika produksi ditingkatkan ke B50, CPO domestik akan defisit sebesar 1,2 ton dengan asumsi kebutuhan pangan akan CPO tidak naik atau sama dengan kebutuhan tahun 2022 dan 2023.
Gulat menambahkan, jika pemerintah tetap ingin beralih ke produksi B50, perlu dilakukan beberapa langkah. Pertama, mengkaji ulang Pasal 110 B UUCK yang mengatur satu daur untuk sawit dalam kawasan hutan.
“Kedua, permudah persyaratan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) program BPDPKS. Ketiga, aktifkan program intensifikasi bagi petani yang produktivitas kebunnya rendah (non jalur PSR BPDPKS),” jelasnya.
Keempat, memberikan rangsangan harga tanda buah segar (TBS) kepada petani melalui program sarana dan prasarana BPDPKS. Sebab, 68% petani sawit tidak memupuk tanaman karena harga pupuk yang mahal tidak sebanding dengan harga jual TBS.
“Kelima, percepat hilirisasi TBS petani yang dikelola oleh koperasi, dan terakhir revisi regulasi yang justru negatif terhadap hulu hilir sawit,” tandasnya.
Baca Juga: Ekspor CPO Turun, Pengamat Ungkap Bisa Berlangsung Hingga Akhir Tahun
Gulat juga menyoroti pentingnya pendirian Badan Otoritas Sawit Indonesia, karena badan ini dinilai akan mempermudah pelaksanaan enam langkah di atas.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, mengungkapkan bahwa harga jual sawit saat ini terbilang baik, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Namun, ekspor CPO menurun karena negara-negara importir sedang mengalami masalah ekonomi.
“Produksi sawit kita sampai dengan Juni diperkirakan sekitar 25 juta ton - 26 juta ton. Produksi sampai akhir tahun masih di sekitar 50 juta ton,” jelasnya.
Dari besaran produksi CPO tersebut, penerimaan devisa negara diperkirakan mencapai US$ 30 miliar. Eddy menyebutkan bahwa beberapa anggota GAPKI masih melakukan peremajaan lahan demi meningkatkan produktivitas.
“Saat ini beberapa anggota masih melakukan peremajaan, jadi yang dilakukan adalah intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News