kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyorot pro kontra kebijakan cutting HE-19 dan afkir dini ayam parent stock


Senin, 16 Agustus 2021 / 17:07 WIB
Menyorot pro kontra kebijakan cutting HE-19 dan afkir dini ayam parent stock
ILUSTRASI. Suasana peternakan ayam potong di kawasan Deli Serdang, Sumatera Utara, Selasa (27/7/2021). Menyorot pro kontra kebijakan cutting HE-19 dan afkir dini ayam parent stock.


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pada momen Kemerdekaan RI yang ke 76 ini, peternak rakyat masih berjuang dalam kemerdekaan usahanya. Kelompok Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) diambang kehancuran karena usaha ayam broiler (ayam pedaging) terus tertekan dengan harga ayam panen (livebird) di bawah Harga Pokok Produksi (HPP). 

Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), Ali Usman, mengatakan, pada pertengahan bulan Juli 2021 lalu, harga livebird dilevel Rp 8.000 per kilogram (kg), sedangkan HPP Rp 19.000 - 21.000 per kg sesuai Permendag No. 7 Tahun 2020. Indikasinya karena pasokan ayam di hulu berlebih, sedangkan permintaan di hilir masih stagnan.

Menurutnya, perkembangan bisnis ayam broiler ini sangat pesat bahkan overpopulation yang mengakibatkan pemusnahan anak ayam Final Stock (DOC FS). Pemerintah dalam hal ini, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Ditjen PKH, Kementan) melakukan intervensi pemangkasan produksi. 

Pengendalian oversupply/overstock ini melalui Cutting Hatching Egg (HE) umur 19 hari dan afkir dini ayam Parent Stock (PS) dengan jumlah besar setiap dua minggu sekali dalam program berjalan setiap bulannya.

Baca Juga: Kementan sebut alokasi impor GPS sudah sesuai kalkulasi

Pemusnahan ayam tersebut dilakukan atas intervensi pemerintah dalam rangka menjaga supply-demand dengan harapan terangkatnya harga ayam hidup (livebird) yang selama ini merugikan peternak rakyat. 

Pasalnya perusahaan besar yang terintegrasi juga berbudidaya baik internal farm dan exsternal farm melalui kemitraannya. Meskipun harga livebird berfluktuasi, tetapi bagi integrator kerugian dapat diminimalisir karena memproduksi DOC FS dan pakan secara mandiri.

"Artinya sapronak lebih murah dibanding peternak rakyat yang ketergantungan," ujar Ali dalam keterangannya, Senin (16/8).

Ia melanjutkan, peternak selama ini membeli sarana produksi ternak (sapronak) tersebut kepada perusahaan tetapi sebagian penyedia sapronak tersebut juga melakukan intervensi budidaya unggas.

Dengan penguasaan sektor budidaya oleh integrator, secara tidak langsung mereka menguasai pasar becek yang ada di pasar tradisional. Sehingga berpotensi melakukan intervensi hulu hilir, baik pengadaan kuota impor ayam GPS (Grand Parent Stock), penjualan DOC FS, pakan hingga livebird.

Berdasarkan data Ditjen PKH, prognosa ketersediaan DOC broiler 2021 mencapai 3.6 miliar ekor sedangkan kebutuhan hanya 2.9 miliar sehingga potensi kelebihan produksi mencapai 758 juta ekor.

Baca Juga: Upaya pengendalian produksi DOC berdampak pada perbaikan harga livebird di peternak

Sehingga didapatkan data prognosa ketersediaan karkas broiler sepanjang 2021 adalah 4 juta ton sedangkan kebutuhan 3.1 juta ton, dengan neraca 835 ribu ton. Sementara angka konsumsi ayam pada tahun 2020 menurut BPS 12.79 kilogram per kapita per tahun.

Pergerakan angka konsumsi tidak sejalan dengan perubahan produksi yang melimpah, karena harga ayam di tingkat konsumen akhir relatif mahal. Anehnya harga livebird di tingkat peternak cenderung berfluktuasi bahkan mencapai Rp 8.000 per kilogram.




TERBARU

[X]
×