kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.306.000 -0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Meski harga tebu terus merangkak naik, keuntungan petani belum optimal


Jumat, 30 September 2011 / 09:35 WIB
Meski harga tebu terus merangkak naik, keuntungan petani belum optimal
ILUSTRASI. Senin (23/11), IHSG mampu meningkat 41,69% dari level terendah tahun ini ke 5.652,76.


Reporter: Bernadette Christina Munthe |

JAKARTA. Musim kering yang masih terjadi hingga September ini mendorong kenaikan harga jual tebu di tingkat petani. Harga tebu yang pada Mei masih Rp 35.000 per kuintal terus bergerak naik ke kisaran Rp 45.000 per kuintal sampai Rp 48.000 per kg pada Agustus. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia(APTRI) mencatat kini harga tebu mencapai kisaran Rp 48.000 per kuintal hingga Rp 52.000 per kuintal.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTRI Soemitro Samadikun mengatakan kenaikan harga ini dipicu oleh kenaikan rendemen tebu. Pada awal musim giling di bulan Mei lalu rata-rata rendemen berada di kisaran 6% pada sementara saat ini sudah naik ke kisaran 8% di beberapa pabrik.

Staf Ahli Asosiasi Gula Indonesia(AGI) Colosewoko mengatakan kenaikan harga penjualan tebu ini memang menguntungkan untuk para petani tebu. Tetapi pemerintah di sisi lain perlu mengawasi pergerakan kenaikan harga ini untuk menjaga keberlanjutan produksi pabrik-pabrik gula.

“Apalagi dengan adanya wacana membeli putus, ini harus dijaga supaya pabrik-pabrik ini masih bisa mendapatkan bahan baku agar produksi tidak terganggu,” kata Colosewoko ketika dihubungi Rabu(28/9).

Soemitro mengatakan rata-rata terjadi penurunan produktivitas hingga 10% per Ha karena gangguan cuaca pada awal tahun ini. Penurunan bobot ini membuat pabrik-pabrik gula bersaing dalam mendapatkan bahan baku untuk pabriknya dan menaikkan harga pembelian mereka. Namun di sisi lain karena jumlah gula yang dihasilkan relatif sama, maka penghasilan petani tak terasa naik.

“Ada kenaikan rendemen karena musim keringnya bagus, tetapi di sisi penghasilan petani sebenarnya tidak naik signifikan karena ada penurunan bobot tebu,” kata Soemitro ketika dihubungi KONTAN, Kamis(29/9).

Meskipun kenaikan rendemen ini cukup menggembirakan, petani belum mendapatkan penghasilan yang optimal karena harga lelang gula yang saat ini baru Rp 8.300 per kg. Harga ini menurut Soemitro memang sudah naik dari tingkat harga pada awal musim giling yang sempat menyentuh Rp 7.250 per kg, namun masih di bawah harga lelang gula pada akhir masa giling Oktober-November 2010 yang sempat menyentuh harga Rp 9.500 per kg hingga Rp 9.600 per kg.

“Dengan rata-rata harga Rp 8.000 maka per Ha petani mendapatkan Rp 34 juta sementara biaya tanam Rp 25 juta, jadi pendapatannya hanya Rp 9 juta. Kalau harga bisa naik jadi Rp 9.500 saja baru petani bisa mendapat Rp 40 juta per Ha dan pendapatan bersih Rp 15 juta untuk waktu setahun,” kata Soemitro.

Soemitro berharap selain harga naik, rendemen tebu bisa naik juga menjadi 10% agar petani bisa mendapatkan penghasilan yang menarik dan mereka terdorong untuk menanam tebu. Perbaikan rendemen ini perlu ditingkatkan dengan memperbaharui pabrik-pabrik gula yang sebagian besar masih peninggalan Belanda.

Dengan produksi gula 2,3 juta ton dan luas lahan 450.000 ton, berarti rata-rata produksi hanya 5,11 ton gula per Ha. Padahal pada tahun 1930-an menurut Soemitro rata-rata produksi gula mencapai 15 ton per Ha karena mesin penggilingan masih berfungsi optimal.

“Seperti kalau mencuci, kalau pakai tenaga orang muda perasannya itu banyak, sementara kalau orang tua, kemampuan memerasnya sudah turun. Jadi gula kita itu banyak tersisa di ampas dan tebunya,” ujar Soemitro.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×