Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan pemerintah tidak akan memberlakukan moratorium terhadap smelter nikel pirometalurgi berbasis teknologi rotary kiln-electric furnace (RKEF), meskipun industri smelter tengah menghadapi tantangan.
Hal ini merespons gangguan produksi yang terjadi di smelter PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), menyusul kolapsnya induk usaha mereka, Jiangsu Delong Nickel Industry Co di China, akibat gagal membayar utang.
“Sampai sekarang belum ada [moratorium],” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tri Winarno ditemui di Kompleks DPR RI, Rabu (26/2).
Tri menjelaskan, pemerintah akan terus mendorong hilirisasi nikel dengan mengoptimalkan produk turunannya. Menurutnya, pemerintah tengah mengevaluasi kapasitas smelter yang sudah berlebih dan yang masih memiliki ruang ekspansi.
Baca Juga: Tanggapi Isu Akan Tutup, PT GNI Tegaskan Operasional Perusahaan Tetap Berjalan Biasa
Tri bilang tujuan utama dari hilirisasi adalah meningkatkan nilai tambah produk melalui proses lanjutan di dalam negeri. Namun, Tri mengakui hingga kini pelaksanaan program tersebut masih belum mencapai target yang diharapkan.
“Tapi kan sampai sekarang masih belum optimal ini. Harapannya ini ada yang lebih hilir lagi. Supaya mungkin efeknya lebih bagus,” katanya.
Tri menambahkan, saat ini evaluasi tengah dilakukan untuk menentukan arah optimalisasi produksi smelter. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah pemanfaatan nikel untuk industri kendaraan listrik (EV) atau produk turunan lainnya.
Mengenai permasalahan PT GNI, Tri menjelaskan smelter tersebut memiliki izin usaha industri (IUI) yang berada di bawah kewenangan Kementerian Perindustrian. Hal ini karena smelter yang tidak terintegrasi dengan tambang atau pemegang izin usaha pertambangan (IUP) berada di bawah regulasi Kementerian tersebut.
“Kewenangan kan sudah dibagi. Untuk yang pasokan sampai ke bahan baku industri berikutnya, Minerba. Untuk pasokannya setelah itu, itu perindustrian kan begitu. kan ada IUI, Izin Usaha Industri,” jelasnya.
Untuk diketahui, smelter PT GNI memiliki kapasitas produksi sekitar 1,9 juta ton bijih nikel per tahun dengan nilai investasi yang diperkirakan mencapai US$3 miliar. Namun, sejak awal tahun, pabrik ini dikabarkan menghentikan sebagian besar dari lebih dari 20 lini produksinya.
Sumber-sumber Bloomberg melaporkan PT GNI mengalami kesulitan membayar pemasoknya, sehingga pasokan bijih nikel terhambat. Jika kondisi ini terus berlanjut, perusahaan kemungkinan besar akan menghentikan operasinya dalam waktu dekat.
Baca Juga: Status Kredit GNI di Bank Masih Lancar
Selain tertekan oleh penurunan harga nikel, PT GNI juga terdampak oleh kejatuhan Jiangsu Delong yang gagal memenuhi kewajiban finansialnya.
Sebagai catatan, sebelumnya Kementerian ESDM pernah mempertimbangkan moratorium investasi smelter RKEF, mengingat jumlah proyek yang terus bertambah. Namun, kenyataannya, jumlah smelter pirometalurgi yang beroperasi dan dalam tahap konstruksi justru terus meningkat tahun lalu.
Terdapat total 190 proyek smelter nikel di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 54 smelter sudah beroperasi, 120 masih dalam tahap konstruksi, dan 16 masih dalam perencanaan.
Dari total smelter yang ada, hanya sekitar 8 hingga 9 smelter yang menggunakan teknologi hidrometalurgi atau high pressure acid leaching (HPAL) untuk mengolah limonit menjadi bahan baku baterai. Sisanya masih berbasis teknologi RKEF. Dari total 190 smelter, 54 sudah beroperasi, 120 masih konstruksi, dan 16 dalam tahap perencanaan. Itu berdasarkan data BKPM.
Selanjutnya: 7 Tips Meninggalkan Kucing saat Mudik Lebaran
Menarik Dibaca: Jadwal Imsakiyah Ramadhan 2025 Kota Batu dan Sekitarnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News