kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.806.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.565   0,00   0,00%
  • IDX 6.511   38,26   0,59%
  • KOMPAS100 929   5,57   0,60%
  • LQ45 735   3,38   0,46%
  • ISSI 201   1,06   0,53%
  • IDX30 387   1,61   0,42%
  • IDXHIDIV20 468   2,62   0,56%
  • IDX80 105   0,58   0,56%
  • IDXV30 111   0,69   0,62%
  • IDXQ30 127   0,73   0,58%

Pemerintah Tunda Moratorium Smelter Nikel RKEF, Ini Dampaknya ke Industri


Minggu, 08 Desember 2024 / 21:22 WIB
Pemerintah Tunda Moratorium Smelter Nikel RKEF, Ini Dampaknya ke Industri
ILUSTRASI. Fasilitas pengolahan nikel milik Harita Nickel di Pulau Obi. Pemerintah melalui Kementerian ESDM memutuskan untuk menunda rencana moratorium pembangunan smelter nikel berbasis teknologi RKEF.


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk menunda rencana moratorium pembangunan smelter nikel berbasis teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).

Keputusan ini diambil meskipun banyak pihak yang menyuarakan kekhawatiran terkait potensi oversupply di pasar global yang dapat menyebabkan penurunan harga feronikel.

Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Djoko Widajatno mengatakan, langkah pemerintah ini didasari oleh berbagai alasan strategis. Pertama, peningkatan nilai tambah.

Dengan mengolah nikel dalam negeri, Indonesia dapat menghasilkan produk bernilai tinggi seperti feronikel, dibandingkan ekspor bahan mentah. Ini diharapkan meningkatkan pendapatan negara dan memperkuat sektor industri.

Baca Juga: Harga Nikel Dunia Diprediksi Sulit Menanjak di 2025, Sejumlah Emiten Siapkan Strategi

Kedua, penciptaan lapangan kerja. Pembangunan smelter berbasis RKEF menciptakan peluang kerja, baik di tahap konstruksi maupun operasional, khususnya di daerah tempat smelter dibangun.

Ketiga, dukungan pada industri kendaraan listrik. Sebagai produsen nikel terbesar dunia, Indonesia berupaya memperkuat posisinya dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik global. Pembangunan smelter RKEF berperan penting dalam mendukung transformasi menuju teknologi hijau,” kata Djoko kepada Kontan, Minggu (8/12).

Djoko melanjutkan, alasan strategis keempat adalah diversifikasi dan daya saing global. Pemerintah ingin mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan meningkatkan daya saing produk olahan nikel di pasar internasional dengan biaya produksi yang lebih rendah.

Kelima, kebijakan larangan ekspor ore nikel. Larangan ekspor bijih nikel sejak 2020 bertujuan untuk mendorong hilirisasi dalam negeri. Smelter berbasis RKEF menjadi salah satu alat utama untuk mendukung kebijakan ini.

Baca Juga: Tanpa Gembar-Gembor, Perusahaan Batubara Grup Harita Berhasil Gelar Hilirisasi

Djoko menambahkan, APNI mendukung langkah pemerintah, namun menegaskan pentingnya masukan dari berbagai pihak untuk memastikan hilirisasi nikel dapat berjalan optimal tanpa mengorbankan keberlanjutan sumber daya dan stabilitas pasar global.

Keputusan pemerintah ini menjadi bagian dari strategi besar transformasi ekonomi Indonesia menuju industri bernilai tambah tinggi. 

Kekhawatiran Oversupply 

Namun, beberapa pihak mengingatkan potensi dampak negatif dari langkah ini. Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo, menilai bahwa moratorium smelter nikel perlu dikaji ulang, terutama terkait dengan cadangan nikel terbatas.

Dengan cadangan nikel sebesar 5,2 miliar ton dan produksi tahunan yang direncanakan mencapai 240 juta ton, umur cadangan perlu dioptimalkan untuk memastikan keberlanjutan industri berbasis nikel di masa depan.

Selain itu, Singgih menyebut potensi penurunan harga global. Jika kapasitas produksi melebihi permintaan, harga feronikel di pasar global dapat tertekan akibat kelebihan pasokan. Ini bisa merugikan produsen nikel dalam negeri.


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES) Brush and Beyond

[X]
×