Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Permintaan moratorium atau penangguhan terhadap pengolahan dan permurnian (smelter) nikel melalui Rotary Klin Electric Furnace (RKEF) kembali mencuat.
Permintaan ini diungkap oleh Holding BUMN Pertambangan, Mining Industry Indonesia (MIND ID) kepada Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan alasan untuk mencegah keadaan oversupply dari produk turunan smelter RKEF seperti feronikel dan Nickel pig iron (NPI).
"Karena kalau oversupply seperti yang sudah terjadi pada ferronickel, harganya jatuh. Sekarang harga ferronickel itu hampir tidak bisa menutup biaya produksi," kata Direktur Utama MIND ID, Hendi Prio Santoso dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XII DPR, Rabu (4/12).
Baca Juga: TKN Prabowo-Gibran: Hilirisasi untuk Nilai Tambah dan Serap Pekerjaan
Permintaan moratorium ini bukan pertama kali terjadi, berdasarkan catatan Kontan, pada awal Agustus 2024 lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah berjanji untuk tidak lagi memberikan izin investasi baru untuk smelter RKEF.
Menteri ESDM yang saat itu menjabat, Arifin Tasrif mengatakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga sudah menyepakati terkait tidak adanya izin investasi baru smelter RKEF.
Adapun, terkait permintaan moratorium terbaru ini Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy Hartono mengatakan pihaknya mendukung penuh permintaan MIND ID tersebut.
Menurut Sudirman, ada tiga alasan mendasar yang mendorong moratorium ini. Yang pertama adalah terkait jumlah RKEF yang sudah cukup banyak, yang berdampak pada penghabisan cadangan bijih nikel saprolite atau bijih nikel kadar tinggi yang lebih cepat.
Baca Juga: Walhi: Tindak Tegas Perusahaan Nikel yang Abai Lingkungan
"Jumlah smelter nikel berbasis proses pirometalurgi RKEF dengan bahan baku bijih nikel saprolite saat ini sudah cukup banyak. Jika tidak dibatasi (smelter RKEF) ini akan sangat cepat menghabiskan cadangan nikel saprolite yang masih terbatas di kisaran 3 sampai dengan 4 miliar ton," ungkap Sudirman saat dihubungi Kontan, Minggu (08/12).
Asal tahu saja, smelter RKEF hanya mengolah bijih nikel kadar tinggi atau saprolite untuk kemudian menghasilkan baja nirkarat (stainless steel). Dalam catatan Perhapi, jika tidak dilakukan mandatori, maka saprolite Indonesia akan habis dalam waktu 10 tahun.
Alasan kedua adalah terlalu banyaknya smelter RKEF yang mengasilkan nickel pig iron (NPI) dan feronikel yang melebihi demand, akan menekan harga nikel dunia.
"Kalau produksi NPI dan FeNi semakin meningkat, berdampak kepada tertekannya harga nikel dunia. Dan tentunya negara kita akan kehilangan opportunity untuk mendapatkan devisa yg lebih besar," tambahnya.
Baca Juga: Moratorium Smelter Dinilai Tepat, Pemerintah Didorong Tingkatkan Nilai Tambah Nikel
Selain itu, alasan ketiga Sudirman juga menyoroti pesatnya smelter RKEF di Indonesia. Menurutnya, ini akan mendorong pembukaan tambang nikel baru bahkan tambang tanpa ijin (ilegal).
"Penambahan jumlah smelter akan membuat semakin maraknya pembukaan tambang-tambahg nikel baru termasuk kemungkinan maraknya tambang tanpa ijin atau ilegal," katanya.
Setali tiga uang, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengungkapkan menjamurnya smelter RKEF di Indonesia telah dimulai sejak larangan ekspor nikel pada awal 2020.
"Karena itu investor dari China datang berbondong-bondong sehingga jumlah smelter di Indonesia jadi berlebih. Seharusnya secepatnya (moratorium), karena itu kan sebenarnya (permintaan) sudah dari satu tahun yang lalu," kata Fahmy saat dihubungi Kontan, Minggu (08/12).
Perkembangan Pesat Smelter Nikel RKEF
Menjamurnya smelter RKEF, juga didukung dari data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM yang mencatat hingga kini terdapat 188 smelter nikel di Indonesia. Dengan 144 diantaranya smelter RKEF dan sisanya adalah smelter HPAL.
Baca Juga: Proyek Smelter Vale (INCO) Bakal Dievaluasi Pasca Divestasi Saham Rampung
Terkait ini, Direktur Hilirisasi Mineral dan Batubara Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM Hasyim Daeng Barang,mengatakan memang saat ini pertumbuhan smelter RKEF lebih cepat dibanding HPAL.
"Sekarang isunya yang paling tumbuh smelter RKEF dengan produk NPI dan feronikel. Kita mencatat total ada 188 smelter RKEF dan HPAL," ujar dia dalam acara Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jumat (29/11).
Senada, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara (Indonesia Coal Mining Association/ICMA) Hendra Sinadia juga turut mengakui bahwa investasi RKEF di Indonesia memang jauh lebih berkembang dibanding HPAL.
Ia juga mewanti-wanti pemerintah untuk segera melakukan perhitungan detail atas ketersediaan cadangan saprolite Indonesia.
"Ada yang mengatakan cadangan (saprolite) gak sampai 10 tahun kalau tingkat produksinya masih ditingkat saat ini. Jadi yang perlu dikaji, terkait inventory cadangan kita," ungkapnya saat ditemui Kontan usai acara Indonesia Mining Summit 2024, di Jakarta, Rabu (4/12).
Baca Juga: Kementerian ESDM Sebut Moratorium Smelter Nikel untuk Dorong Nilai Tambah
Hendra menambahkan, keterbatasan saprolite akibat terlalu banyak smelter RKEF menurutnya juga akan turut menekan investasi di smelter nikel.
"Keterbatasan saprolite kita pasti berpengaruh juga pada investor yang mau masuk ke Indonesia. Justru mengirim sinyal yang membingungkan, karena itu perlu kajian lebih lanjut," tambahnya.
Adapun terkait cadangan, Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) mencatat sumber daya nikel di Indonesia mencapai 18,550 miliar ton. Sementara untuk cadangan nikel mencapai 5,325 miliar, dengan pembagian 60% adalah saprolit dan 40%-nya adalah limonit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News