Reporter: Fitri Nur Arifenie |
BANDUNG. Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI) menegaskan, berdasarkan aspek geologi eksplorasi, tak ada kandungan mineral Uranium di wilayah Papua Barat. Jika pun ada kandungan mineralnya, maka tak bisa dikembangkan secara ekonomis.
Hingga saat ini, data kadar Uranium tertinggi yang ditemukan di salah satu daerah prospek PT Freeport Indonesia adalah 83 ppm (part per million). "Angka ini jauh dari nilai minimum ekonomis untuk penambangan Uranium yang ada di dunia saat ini yaitu 1.000 ppm" kata Ketua Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI), Sukmandaru Prihatmoko, Kamis (29/7).
Menurutnya, seperti halnya pada mineral logam lainnya (tembaga, perak, emas dan sebagainya), Uranium membutuhkan pengkayaan secara alamiah sampai kadar tertentu agar bisa ditambang secara ekonomis.
Secara geologi, Sukmandari menjelaskan, Pulau Papua (Indonesia dan Papua New Guinea) terbentuk akibat tumbukan antara lempeng Australia dan Pasifik yang menghasilkan magma pada tepi tumbukan. Proses ini kemudian membentuk jalur mineralisasi tembaga dan emas di beberapa tempat. Dalam istilah geologi eksplorasi, cebakan-cebakan tembaga - emas pada jalur mineralisasi ini pada umumnya diklasifikasikan sebagai tipe cebakan "porphyry copper-gold" dan "epithermal gold".
"Hasil penelitian dan eksplorasi di seluruh dunia sejauh ini menunjukkan tidak adanya kandungan Uranium yang signifikan pada jalur mineralisasi dengan tipe "porphyry copper-gold" dan "epithermal gold" seperti yang ada di Papua," kata dia.
Sekadar mengingatkan, beberapa waktu lalu, PT Freeport mendapatkan tuduhan atas penambangan Uranium ilegal. Tuduhan tersebut diungkapkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua, Yan Mandenas. Menurutnya, berdasarkan laporan informan di lingkungan PT Freeport Indonesia, aktivitas penambangan Uranium sudah berlangsung sejak delapan tahun lalu secara terselubung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News