kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45933,51   5,16   0.56%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

MGEI sambut pengaturan baru logam tanah jarang di PP Minerba


Senin, 28 Desember 2020 / 16:00 WIB
MGEI sambut pengaturan baru logam tanah jarang di PP Minerba
ILUSTRASI. Logam tanah jarang (LTJ) alias rare earth element (REE) bakal diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan dari Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba).


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Logam tanah jarang (LTJ) alias rare earth element (REE) bakal diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan dari Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba). LTJ tak lagi sebagai radio aktif, namun masuk ke dalam golongan mineral logam yang dapat diusahakan.

Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI) menyambut baik kebijakan tersebut. Menurut Ketua MGEI STJ Budi Santoso, regulasi tersebut sudah tepat, sebab tidak semua logam tanah jarang berasosiasi dengan unsur radioaktif. Misalnya bijih timah untuk LTJ jenis La (Lanthanum) dan Ce (Cerium) masih berasosiasi dengan unsur radioaktif.

Juga non-radioaktif yang berkaitan dengan bauksit (Sc dan Nd) serta nikel (Sc). "Sejauh ini yang relatif ekonomis adalah yang berasosiasi dengan bijih di atas, karena bisa diusahakan sebagai tambahan metal credit atau by product. Jadi sudah bagus dan memang harus begitu (regulasi dalam PP) karena tak semua LTJ berasosiasi dengan unur radio aktif," kata Budi saat dihubungi Konta.co.id, Senin (28/12).

Baca Juga: ESDM klaim residu bauksit bisa bernilai ekonomis tinggi untuk besi dan titanium

Namun, kata dia, pemerintah tetap perlu memberikan payung hukum khusus dalam pengusahaan LTJ di Indonesia. Termasuk untuk mengatur LTJ yang berasosiasi dengan unsur radio aktif, sehingga ada kepastian hukum dalam pengusahaannya.

"Sehingga masih tetap bisa diusahakan sementara kepentingan yang lebih besar juga terlindungi. Secara umum karena sifatnya strategis, semestinya ada regulasi yang mengatur," ujar Budi.

Misalnya, dengan pengaturan di sektor hilirnya terkait prioritas pemenuhan kebutuhan industri di dalam negeri. Oleh sebab itu, hal ini perlu dibarengi dengan penyiapan industri yang akan menyerap produk LTJ. "Ini sudah cukup baik dengan salah satu contohnya maraknya pengembangan industri baterai bahkan EV (kendaraan listrik) di Indonesia," kata Budi.

Dia mengingatkan, tantangan terbesar pengembangan LTJ di Indonesia memang masih di sisi hulu. Terutama dari aspek inventarisasi sumber daya dan cadangan LTJ di Indonesia yang masih harus dipastikan lagi besarannya.

Dalam pemberitaan Kontan.co.id sebelumnya, Budi mengungkapkan bahwa penelitian dan usaha pengembangan LTJ di Indonesia sebagai komoditas yang berprospek tinggi untuk diusahakan, baru marak dikerjakan pada setengah dekade terakhir. Itu pun masih perlu studi lanjutan untuk penyusunan peta penyebaran dan inventarisasi potensi cadangan agar layak untuk ditindak lanjuti secara keekonomian atau industri.

Dari hasil kajian sejauh ini, keterdapatan LTJ di Indonesia umumnya sebagai mineral atau elemen ikutan dari sisa olahan komoditas mineral seperti timah, aluminium, nikel dan zirkon. Di samping inventarisasi potensi cadangan dan keekonomian bisnis, tantangan pengolahan LTJ di Indonesia ialah terkait teknologi pemrosesan.

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin menjelaskan, dengan masuknya tanah jarang ke dalam golongan mineral logam, maka pengusahaan wilayahnya dilakukan melalui sistem lelang. Pengaturan terkait pengusahaan tanah jarang ini telah masuk di dalam Rancangan PP tentang pengusahaan minerba.

"Proyeksi ke depannya, LTJ akan diusahakan dan pengurusan perizinannya berada di bawah Kementerian ESDM," kata Ridwan kepada Kontan.co.id, Senin (28/12).

Baca Juga: Timah (TINS) kembangkan pilot plant pengolahan logam tanah jarang (LTJ)




TERBARU

[X]
×