Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Menurut Rendi, hal itu penting lantaran ketersediaan dan keberlanjutan bahan baku akan mempengaruhi tingkat keekonomian yang layak saat pabrik pengolahan (smelter) itu dibangun.
"Setelah kami teliti perlu ada eksplorasi lanjutan untuk memastikan ketersediaan bahan baku. Agar ketika dieksploitasi bisa ekonomis," ungkapnya tanpa merinci jangka waktu yang diperlukan untuk pengembangan monasit tersebut.
Namun, beda kasusnya dengan lumpur merah (red mud). Pasokan red mud sebagai produk samping atau sisa olahan bauksit menjadi alumina ini bakal melimpah, setelah beroperasinya Smenter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat.
Baca Juga: PT Timah Tbk (TINS) melepas 100% saham Indometal Corporation ke Mind ID
Seperti diketahui, saat ini PT Inalum (Persero) dan PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) bekerjasama untuk membangun SGAR dengan kapasitas 1.000 Ktpa Alumina. Proyek dengan investasi senilai US$ 841 juta itu saat ini tengah dalam proses pematangan lahan (early work).
"SGAR kan tahun 2022 (ditargetkan) sudah operasional. Tahap berikutnya memanfaatkan red mud, sisa olahan alumina. Monasit perlu waktu, karena proses eksplorasi lagi, kalau red mud akan melimpah pasokannya," terang Rendi.
Nantinya, red mud akan diolah menjadi Scandium yang memiliki nilai strategis bagi industri pertahanan maupun kesehatan. Namun, untuk mengembangkan itu MIND ID harus terlebih dulu membangun smelter pengolahan red mud karena fasilitasnya berbeda dari SGAR milik Inalum-Antam. Saat ini, perusahaan terbesar yang melakukan pengolahan red mud adalah Rusal dari Rusia.
Rendi mengatakan, pihaknya masih melakukan kajian terkait pembangunan smelter red mud ini, mulai dari keekonomisan biaya, lokasi hingga teknologi yang digunakan. "Itu proyeknya cukup besar. Arahnya memang ke sana," pungkas Rendi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News