kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

MIND ID masih menanti regulasi pengembangan Logam Tanah Jarang dalam skala komersil


Kamis, 13 Agustus 2020 / 17:58 WIB
MIND ID masih menanti regulasi pengembangan Logam Tanah Jarang dalam skala komersil
ILUSTRASI. CEO Mind ID Orias P. Moedak


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mining Industry Indonesia (MIND ID) masih menunggu kejelasan regulasi terkait pengembangan Logam Tanah Jarang (LTJ) atau rare earth element (REE).

Senior Vice President Corporate Secretary MIND ID Rendi A. Witoelar mengatakan, pihaknya telah melakukan pemetaan terkait potensi LTJ yang bisa diolah. Namun untuk mengembangkannya dalam skala komersial, holding perusahaan tambang plat merah itu akan terlebih dulu menunggu kejelasan regulasi dari pemerintah.

Sebab, LTJ merupakan mineral ikutan atau produk samping yang memiliki kadar radio aktif. Sehingga, tahap pengolahan hingga penjualannya akan menyangkut banyak regulasi dari lintas kementerian atau lembaga.

Baca Juga: ESDM: Aturan pemanfaatan tanah jarang tak ada IUPK dan wajib diolah dalam negeri

"Pemetaan sih sudah ada, tapi sebelum masuk komersial. Secara korporasi, harus dipastikan regulasi terkait produk ini (LTJ). Ada banyak instansi yang terlibat di sini, sehingga regulasinya jelas dulu, yang harus dipikirkan saat ini adalah bagaimana regulasi mendukung," kata Rendi saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (13/8).

Selain regulasi, pengembangan LTJ skala komersil juga memerlukan pemetaan tingkat lanjut untuk memastikan level sumber daya maupun cadangan yang tersedia. Hal ini penting untuk menghitung skala bisnis dan keekonomian.

Rendi memberikan gambaran perbedaan LTJ di China dan di Indonesia. Di Negeri Tirai Bambu, LTJ bisa ditambang langsung, sementara di Indonesia merupakan sisa olahan atau mineral ikutan.

"Jadi kedua (yang harus dipastikan) adalah masalah cadangannya itu," sambung Rendi.

Merujuk catatan Kontan.co.id, MIND ID sudah melakukan identifikasi pada sejumlah jenis LTJ yang ada di Indonesia. Namun sampai saat ini yang paling dominan teridentifikasi baru pada monasit dari timah dan lumpur merah (red mud) dari pengolahan bauksit menjadi alumina.

Baca Juga: Pembangunan Pabrik Logam Tanah Jarang Terkendala Mesin dari China

"Ada beberapa (LTJ yang teridentifikasi), tapi yang paling dominan dua itu," kata Rendi saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (20/7).

Dari sejumlah pertimbangan mulai dari tingkat cadangan, keekonomian dan teknologi pengolahan, Rendi mengungkapkan bahwa pengembangan monasit dari pertambangan timah di Bangka Belitung masih perlu waktu lebih lama lagi. Sebab, masih dibutuhkan eksplorasi lanjutan untuk mengetahui tingkat  cadangan yang berkelanjutan.

Menurut dia, hal itu penting lantaran ketersediaan dan keberlanjutan bahan baku akan mempengaruhi tingkat keekonomian yang layak saat pabrik pengolahan (smelter) itu dibangun. 

Namun, beda kasusnya dengan lumpur merah (red mud). Pasokan red mud sebagai produk samping atau sisa olahan bauksit menjadi alumina ini bakal melimpah, setelah beroperasinya Smenter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat.

Seperti diketahui, saat ini PT Inalum (Persero) dan PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) bekerjasama untuk membangun SGAR dengan kapasitas 1.000 Ktpa Alumina. Proyek dengan investasi senilai US$ 841 juta itu saat ini tengah dalam proses pematangan lahan (early work).

"SGAR kan tahun 2022 (ditargetkan) sudah operasional. Tahap berikutnya memanfaatkan red mud, sisa olahan alumina. Monasit perlu waktu, karena proses eksplorasi lagi, kalau red mud akan melimpah pasokannya," terang Rendi.

Nantinya, red mud akan diolah menjadi Scandium yang memiliki nilai strategis bagi industri pertahanan maupun kesehatan.  Namun, untuk mengembangkan itu MIND ID harus terlebih dulu membangun smelter pengolahan red mud karena fasilitasnya berbeda dari SGAR milik Inalum-Antam.

Saat ini, perusahaan terbesar yang melakukan pengolahan red mud adalah Rusal dari Rusia.

Rendi mengatakan, pihaknya masih melakukan kajian terkait pembangunan smelter red mud ini, mulai dari keekonomisan biaya, lokasi hingga teknologi yang digunakan. "Itu proyeknya cukup besar. Arahnya memang ke sana," pungkas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×