kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.443.000   13.000   0,91%
  • USD/IDR 15.155   87,00   0,57%
  • IDX 7.743   -162,39   -2,05%
  • KOMPAS100 1.193   -15,01   -1,24%
  • LQ45 973   -6,48   -0,66%
  • ISSI 227   -2,76   -1,20%
  • IDX30 497   -3,22   -0,64%
  • IDXHIDIV20 600   -2,04   -0,34%
  • IDX80 136   -0,80   -0,58%
  • IDXV30 141   0,18   0,13%
  • IDXQ30 166   -0,60   -0,36%

Model dan sistem bisnis e-commerce masih beragam


Rabu, 08 Mei 2013 / 11:55 WIB
ILUSTRASI. Harga saham BRIS melemah, AGRO menguat di sesi pertama bursa Rabu (24/11). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.


Reporter: Anastasia Lilin Y, Hendra Gunawan, Arief Ardiansyah | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Sebagai pengguna perangkat telekomunikasi yang canggih dan aktif bersosialisasi di dunia maya, pasti Anda pernah mendapat tautan iklan barang dagangan di akun media sosial seperti Facebook dan Twitter. Atau tiba-tiba mendapat pesan berantai (broadcast) tawaran barang fashion di jaringan Blackberry Messenger (BBM) dan aplikasi obrolan seperti Whatsapp.

Tapi, beruntunglah Anda jika belum pernah mengalaminya. Maklum, bagi orang yang tidak menginginkan informasi seperti itu merupakan spam. Jadi Anda tak perlu repot-repot menghapus sampah di jaringan Internet tersebut. Namun, kalau Anda tak pernah mendapatkan spam itu, bisa jadi ada yang salah dengan cara Anda berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.

Bukan bermaksud apa-apa, gambaran tersebut hanya ingin menunjukkan betapa mudahnya berbagi informasi jual-beli produk saat ini di dunia maya. Cara menjajakan dagangan di dunia maya biasa disebut dengan istilah electronic commerce (e-commerce). Secara sederhana, ada dua jenis e-commerce, dilihat dari peran pelaku di dalam transaksi tersebut.

Pertama, consumer to consumer yaitu penjual dan pembeli sama-sama individu. Hampir tak ada biaya di sini karena penjual hanya memanfaatkan jaringan sosial dengan dukungan layanan Internet seperti Facebook, Twitter, BBM, Whatsapp dan lain-lain.

Kedua, business to consumer. Konsep ini bisa diartikan bahwa penjual adalah sebuah korporasi dan pembeli adalah individu. Yang masuk jenis ini adalah situs yang menyediakan lapak e-commerce. Dua contoh situs e-commerce besar kelas global adalah Amazon.com dan eBay Inc.

Di Amerika Serikat, bisnis e-commerce sudah berusia sekitar dua dekade. Sementara di Indonesia, bisnis ini masih tergolong balita. Perkembangan bisnis ini tak terlepas dari pertumbuhan penetrasi internet dan ponsel pintar. Selain itu, pola perilaku masyarakat yang semakin mau membuka diri. Maklum, jual-beli online tak cuma soal “melawan” budaya belanja fisik tapi juga senantiasa dibayangi isu ketidakamanan dalam bertransaksi.

Karena masih balita, tak heran jika sistem e-commerce di Tanah Air dianggap belum mapan. Samuel Ongkowijoyo, penjual yang menggelar dagangan di Multiply.com dan Tokopedia.com berbagi cerita. Menurut dia situs e-commerce di Indonesia masih belum benar-benar seperti e-commerce yang lazim di luar negeri. Kebetulan, Samuel pernah menjual dagangannya di eBay.

Untuk mendukung keamanan bertransaksi, eBay menggunakan sistem pembayaran Paypal sedangkan kebanyakan situs e-commerce di Tanah Air masih dengan mentransfer ke rekening bank. “Sistem payment gateway dan proses pengiriman barang untuk e-commerce Indonesia masih harus ditingkatkan,” tukas Samuel.

Menurut Ken Dean Lawadinata, Chief Executive Officer Kaskus.co.id, belum ada sistem e-commerce yang pakem. Jadi, Indonesia tidak perlu mencontoh negara lain tapi harus membangun sistem sendiri. Sistem yang cocok dengan pasar e-commerce dalam negeri saat ini adalah komprehensif, mudah dimengerti dan aman.

Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) Gatot S. Dewa Broto mengatakan, pihaknya sudah menyediakan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Ini turunan dari Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Beleid tersebut cukup menjadi jaminan keamanan transaksi online. “Tidak mungkin ada penyeragaman sistem e-commerce karena itu business to business,” kata Gatot.

Cara kerja e-commerce

Meski tak ada patokan baku soal sistem, Andi S. Boediman, pendiri Ideosource, perusahaan yang bergerak dalam bisnis digital dan mengelola International Design School, melihat ragam cara kerja e-commerce di Indonesia bisa dibagi dalam tiga rumpun besar. Agar lebih jelas, yuk simak satu per satu!

Market place

Model market place bisa dianalogikan sebagai mal. Situs yang menggunakan model ini seperti eBay.com, Alibaba.com, Multiply.com dan Tokopedia.com. Mengambil contoh eBay, situs ini memperoleh pendapatan dari biaya pemasangan produk (listing fee) dan biaya transaksi (transaction fee).

Penjual tetap membayar listing fee, tak peduli barang laku atau tidak. Sementara transaction fee hanya dikenakan jika terjadi transaksi yang besarannya berupa persentase atas nilai barang terjual. Oh, iya, karena eBay.com memiliki Paypal maka masih akan mendapatkan komisi dari layanan pembayaran dengan sistem ini.

William Tanuwijaya, Founder Tokopedia.com mengatakan, ada beberapa kelebihan situsnya yang mengusung model market place dibandingkan model jual-beli di forum, jejaring sosial atau iklan baris. Antara lain fasilitas rekening bersama gratis, penjual bisa menentukan minimal pembelian dan menetapkan sistem diskon untuk pembelian partai besar. Lalu, ada perhitungan ongkos kirim secara otomatis, verifikasi pembayaran secara online dan pengecekan posisi pengiriman barang secara otomatis.

Berkat konsep yang diusung, William mengaku transaksi Tokopedia.com tahun 2012 meningkat hampir 700% dibandingkan tahun 2011. Lebih dari 12.000 toko aktif menjajakan lebih dari 695.000 produk.

Tahun ini, pertumbuhan transaksi bulanan di angka 20%. “Model market place menjawab kebutuhan calon pembeli atas belanja online yang aman dan menjawab kebutuhan penjual yang ingin serius berjualan secara online,” kata William.

Online retail

Model kedua adalah online retail. Andi menganalogikanmodel ini dengan toko ritel. Salah satu contoh situs yang menggunakan model ini adalah Amazon.com. Situs ini memperlakukan semua penjual sebagaipemasok barang. Alhasil, Amazon mematok margin atas transaksi barang yang dilakukan di situsnya. Di dunia retail, pakaian dan buku bisa memiliki margin 40%, bahkan lebih. Tapi barang elektronik, gadget dan komputer hanya bermargin sekitar 5%.

Dengan mengambil margin maka pendapatan Amazon adalah seluruh nilai transaksi barang. “Tapi karena biaya operasional atas inventori, risiko barang hilang dan biaya melayani pelanggan yang amat besar
maka profi t Amazon sangat kecil,” kata Andi.

Di dalam negeri, situs yang mungkin mirip dengan Amazon adalah Tiket.com yang menjual aneka tiket perjalanan dan konser serta Zalora.com yang menjual aneka barang fashion. Mikhael Gaery Undarsa, Managing Director Tiket.com, mengaku bekerja sama secara langsung dengan pemilik hotel, armada penerbangan, kereta api, travel dan lain-lain. “Model bisnis kami adalah revenue sharing dan fee,” ujar Gaery, tanpa menyebut besaran.

Pilihan Tiket.com menjajakan tiket tak sia-sia. Per hari, transaksi pemesanan tiket untuk aneka tujuan sampai 2.500 transaksi. Namun Gaery mengaku saat ini Tiket.com belum membukukan keuntungan karena margin yang diperoleh dari setiap transaksi nilainya kecil. Dia memperkirakan, baru tiga tahun kedepan bisa mengantongi untung.

Berbeda dengan William yang blak-blakan belum untung, Catherine Hindra Sutjahyo, Managing Director Zalora Indonesia, hanya menyebut bahwa profit sharing yang dicuil dari pemasok rata-rata 30%-40%. Dengan menyasar usia pembeli 20 tahun hingga 40 tahun, ada 500 merek fashion yang saat ini bekerja sama dengan Zalora.

Iklan baris

Model terakhir adalah iklan baris. Layaknya iklan baris di surat kabar, situs e-commerce hanya menjadi tempat pajangan aneka dagangan. Lantaran hanya menjadi lapak maka situs e-commerce tak ada sangkutpautnya dengan setiap transaksi yang terjadi.

Model ini tidak mengutip dari biaya transaksi tetapi dari listing yang dilakukan oleh setiap penjual. Menurut Andi, dalam kondisi e-commerce yang masih “pagi” di Indonesia, model ini cukup sederhana. Penjual langsung merasakan manfaat jika mereka membayar premium dan ditampilkan sebagai listing premium.

Beberapa situs yang menerapkan model ini seperti Tokobagus. com, Berniaga.com dan Rumah123.com. Andy Roberts, General Manager Rumah123. com mengatakan, agar agen properti bisa memajang dagangannya di lapak Rumah123.com maka ha rus membayar Rp 300.000 per tahun untuk kelas reguler. “Kalau mau dengan fasilitas tambahan, misal tampilan dibuat ini dan itu maka ada tambahan biaya,” katanya.

Nah, kini, silakan timbangtimbang sendiri. Anda lebih sreg dengan model yang mana, baik sebagai penjual maupun pembeli di dunia maya?

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 32 - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Distribution Planning (SCMDP) Supply Chain Management Principles (SCMP)

[X]
×