Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Anastasia Lilin Yuliantina
JAKARTA. Berita penutupan rute penerbangan kembali terdengar. Kali ini giliran PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang akan menutup rute penerbangan Jakarta–Taipei per 10 Agustus 2014. Maskapai penerbangan plat merah ini beralasan tingkat keterisian penumpang di kisaran 50%-60% menyebabkan rute ini tak menguntungkan.
Sebagai ganti penutupan rute ini, Garuda Indonesia akan menjalin kerjasama dengan maskapai penerbangan lain. "Kami akan memanfaatkan jaringan Sky Team dengan China Airlines untuk menuju ke Taipei," ujar Pujobroto, Vice President Corporate Communication Garuda Indonesia, Kamis (24/7).
Penutupan rute ini adalah bagian dari tiga strategi Garuda Indonesia menyelamatkan kinerja keuangan yang jeblok. Dua strategi lain, pertama, mengurangi pengoperasian pesawat tua dan boros bahan bakar. Plus, menunda kedatangan pesawat baru.
Namun, Garuda Indonesia memastikan ke-27 pesawat yang sudah dipesan akan tetap datang sesuai rencana. Pujobroto buru-buru menambahkan, jika evaluasi penundaan kedatangan pesawat ini hingga kini masih dalam pembahasan internal Garuda.
Kedua, memangkas dana belanja modal tahun ini, dari semula US$ 440 juta menjadi hanya US$ 386 juta. Sepanjang kuartal I-2014, Garuda Indonesia sudah membelanjakan dana US$ 25 juta untuk mendatangkan pesawat baru.
Perlu Anda ketahui, emiten dengan kode GIAA ini masih mencetak rapor merah. Dalam laporan keuangan terbaru yang berakhir 30 Juni 2014, Garuda Indonesia tercatat merugi US$ 211,71 juta. Padahal semester I-2013, rugi maskapai penerbangan ini baru tercatat US$ 10,92 juta.
Padahal pendapatan Garuda Indonesia sudah mencatatkan pertumbuhan meski tipis yakni 0,75%. Sepanjang semester I-2014, maskapai penerbangan milik pemerintah Indonesia ini mencatatkan pendapatan US$ 1,74 miliar.
Emirsyah Satar, Direktur Utama Garuda Indonesia beralasan, kinerja semester I-2014 yang masih tak menggembirakan ini adalah buntut dari aksi maskapai penerbangannya gencar berinvestasi. "Garuda dan Citilink juga sedang melakukan investasi besar dalam dua tahun terakhir sehingga ini menekan profit," ujar Emirsyah.
Selain investasi yang menyedot modal besar, Emirsyah juga menuding kondisi ekonomi di Tanah Air yang belum kembali pulih. Inilah yang menjadi dalang maskapai ini masih merugi. Emir mencontohkan posisi nilai tukar rupiah yang masih terdepresiasi cukup dalam terhadap dollar Amerika Serikat.
Tekanan terhadap rupiah tersebut sangat mempengaruhi harga beli bahan bakar pesawat avtur. Padahal 40% beban operasional Garuda Indonesia berasal dari belanja avtur.
Meski catatan keuangan menurun, Garuda Indonesia masih mampu mengangkut 12,37 juta penumpang di semester I-2014, atau meningkat 12,1% dari periode yang sama tahun 2013. Jumlah frekuensi penerbangan juga meningkat 15,4%, dari semua 93.198 penerbangan menjadi 107.568 penerbangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News