Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Keputusan PT Aruna Wijaya Sakti (AWS) untuk menghentikan sementara tambak udang eks Dipasena, Lampung berpotensi mengancam nasib hidup ribuan petambak di sana. Saat ini, ada sekitar 7.500 orang petambak yang menggantungkan hidupnya dari budidaya udang di lokasi itu. Masing-masing petambak rata-rata memiliki 2 unit tambak dengan luas masing-masing 50 meter x 40 meter. Dengan penghentian itu, otomatis mereka akan kehilangan mata pencaharian utama.
Ketua Lembaga Manajemen Plasma Kampung (LMPK) Bumi Dipasena, Towilun, mengatakan saat ini para petambak kelimpungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Maklum saja, jika tetap melakukan budidaya udang, mereka tidak punya dana memadai terutama untuk membiayai biaya operasional seperti benur, listrik, dan operasional lain yang sangat besar. "Jika diam saja, kita tidak bisa makan," keluh Towilun kepada KONTAN, Kamis (5/5).
Towilun bilang, banyak petambak yang akhirnya memilih beralih profesi untuk menyambung hidupnya. Mereka ada yang menjadi pencari ikan di sungai dan kanal-kanal pembuangan air tambak. Banyak diantara mereka juga yang memilih profesi lain seperti menjadi tukang ojek. Alih profesi ini jelas tidak menghasilkan pendapatan seperti dari menanam udang. Namun, para petambak tidak memiliki pilihan lain guna menyambung hidupnya. "Lumayan saja agar kita bisa tetap hidup," tutur Towilun.
Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Bumi Dipasena, Nafian Faiz, menambahkan penghentian tambak ini juga merugikan petambak dalam jumlah yang besar. Menurutnya, dari total 7.500 petambak, saat ini setidaknya ada sekitar 4.500 petambak yang sudah terlanjur melakukan budidaya udang di tambak yang dikelola AWS. Mereka rata-rata sudah melakukan budidaya selama 50 hari.
Masalahnya, beban biaya yang terlanjur dikeluarkan petambak itu cukup besar. Seorang petambak setidaknya sudah menebar benur sebanyak 120.000 ekor benur per tambak dengan harga Rp 30/ekor benuh. Itu berarti biaya benur yang sudah dikeluarkan masing-masing petambak sebesar Rp 3.600.000. Mereka juga sudah mengeluarkan biaya operasional seperti untuk listrik, air dan biaya lainnya sebesar Rp 30 juta/tambak.
Di sisi lain, mereka juga belum bisa memanen udang-udang itu. Sebab, udang yang baru berusia 50 hari belum memungkinkan dipanen. Ukurannya memang sudah agak besar, namun belum memiliki nilai jual tinggi jika dipanen. Nafian juga bilang, petambak belum mendapat Hutang Bulanan Plasma (HBP) untuk bulan April dan Mei ini. Informasi saja, petambak di sana memiliki hak untuk mendapatkan HBP dari PT. AWS yang besarnya antara Rp 950.000-Rp 1.200.000/bulan/petambak. Dana ini digunakan untuk membantu biaya operasional budidaya udang. "Kami juga dalam dua hari ini tidak mendapatkan pakan dari AWS," kata Nafian.
Nafian mengatakan PT. AWS semestinya tidak asal menghentikan tambak secara sepihak tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Para petambak menuntut PT. AWS mengganti biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan. "Perusahaan jangan asal kabur saja, tapi harus bertanggungjawab," tegasnya.
Manajer Komunikasi Korporat PT. Central Protein Prima, Tbk, induk PT AWS, George Basuki mengatakan perusahaan sudah tidak bisa mentolelir para petambak di sana. Ia mencontohkan, pada Januari lalu AWS merugi cukup besar akibat petambak memblokir pabrik pengolahan selama 3 minggu. Sejak awal Maret kemarin, para petambak juga menolak tebar benih. Padahal, AWS sudah mengirimkan benur ke tambak. Akibatnya, benur-benur tersebut terbuang percuma karena penolakan dari petambak. "Kita rugi besar akibat penolakan itu," jelas George.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Ketut Sugama, mengatakan pemerintah belum memiliki program khusus untuk menanggulangi beban petambak akibat penghentian operasi oleh AWS. Pemerintah akan menelisik terlebih dahulu akar dari kisruh berkepanjangan yang terjadi di sana. "Setelah akar masalahnya ditemukan, baru kita pikirkan program atau bantuan kepada petambak," tutur Ketut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News