Reporter: Arief Ardiansyah, Anastasia Lilin Y | Editor: Imanuel Alexander
JAKARTA. Alasan keseriusan negaranegara di Asia Tenggara untuk fokus membesarkan usaha kecil dan menengah (UMKM) kurang lebih sama. ASEAN melihat arti penting UMKM sebagai tulang punggung perekonomian. Jadi, pengembangan UMKM berperan dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan di kawasan ini.
Apalagi, semua negara ASEAN juga merasakan, betapa kehadiran UMKM menyelamatkan mereka dari terpaan krisis ekonomi yang dahsyat. Semua negara ASEAN mengakui bisa selamat dari krisis ekonomi 1997 lantaran kehadiran UMKM.
Dari sisi jumlah UMKM terhadap total entitas bisnis di negara-negara ASEAN juga hampir sama. Sekitar 96% perusahaan di negara-negara ASEAN berstatus UMKM. Tingkat penyerapan tenaga kerja di tiap negara tersebuit antara 50% sampai 85%. Sedang sumbangan ke produk domestik bruto (PDB) antara 30% sampai 53%.
Namun sejatinya, secara ratarata kualitas dan masalah yang dihadapi UMKM di kawasan ASEAN juga tak berbeda. Dalam berbisnis, setidaknya ada tiga problem yang membelit UMKM: kualitas sumberdaya manusia, biaya operasional yang tinggi, dan permodalan.
Kenyataan ini coba diatasi dengan cara bekerjasama sebagai negara bertetangga. ASEAN bersepakat menyatukan kawasannya secara ekonomi melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015. Dengan cara ini, dunia bisnis dan perdagangan akan berlangsung lebih cair serta tanpa hambatan. Salah satu proyek penting dalam MEA adalah penyiapan UKM. “Kami ingin UMKM di Indonesia menaruh perhatian dan bersiap diri,” kata Direktur Kerjasama Ekonomi ASEAN Kementerian Luar Negeri Iwan S. Amri.
Ajakan bersiap ini tak salah. Dengan posisi start berupa kualitas dan masalah UMKM yang sama, dalam perjalanan beberapa tahun terakhir telah menunjukkan hasil yang berbeda. Hadi Karya Purwadaria, Project Coordinator Strengthening SME Business and Technology Business Incubators ASEAN, mengatakan, beberapa negara ASEAN telah melakukan perubahan manajemen UMKM yang bisa berdampak signifi kan dalam persaingan bebas nanti.
Hadi mendapati fakta ini dalam proyek yang tengah dia garap dari Oktober 2012 sampai Juni 2013. Temuannya: upaya penguatan dan pemberdayaan UMKM tak lepas dari tangan pemerintah. “Mereka sudah menyiapkan diri dengan rencana yang matang,” katanya.
Beberapa negara yang memiliki fase persiapan yang kuat adalah Thailand, Singapura, dan Malaysia. Hadi menyebut, bukan tak mungkin Brunei Darussalam akan berada di peringkat berikutnya karena mereka menerapkan model pengelolaan UMKM dari Singapura.
Adapun untuk UMKM di Indonesia, kata Hadi, masih butuh program yang terpadu antarkementerian agar bisa bersaing dan unggul kala MEA berlaku. “Kuncinya ada pada dukungan pemerintah yang tidak tanggung-tanggung,” ujarnya.
Pemerintah dukung
Tengok saja aksi sigap Thailand begitu ASEAN diputuskan bakal menyatu dalam satu komunitas lintas batas. Pemerintah Thailand menugaskan Kementerian Perdagangan, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Luar Negeri sebagai sebagai lembaga kunci menuju kesuksesan Thailand dalam Masyarakat ASEAN.
Mereka membuat program pengenalan Masyarakat ASEAN dengan berbagai iklan dan pidato pejabat ke penjuru negeri. Pesan intinya, ASEAN menyatu tahun 2015! Hasilnya, bahkan hingga pelosok selatan Thailand yang kerap terjadi konfl ik, masyarakatnya tahu akan Masyarakat ASEAN.
Secara bersamaan, Kementerian Pendidikan membuat kampanye yang unik, yaitu “Mari Belajar Bahasa Inggris”. Kampanye ini memiliki tujuan jangka panjang untuk menyiapkan generasi muda Thailand yang mampu berkomunikasi dengan baik saat bertemu orang lain dari berbagai negara.
Tak cuma itu, dalam penyiapan UMKM menuju MEA 2015, Thailand pun lebih sigap. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UMKM Kementerian Koperasi dan UMKM I Wayan Dipta mengatakan, Negeri Gajah Putih mendirikan Inkubator Bisnis Teknologi (IBT) yang pertama pada 2005. Kini, jumlah IBT Thailand sekitar 300-an unit. Bandingkan dengan Indonesia yang sudah menyusun inkubator bisnis sejak 1994 dan kini hanya punya 40 inkubator bisnis. “Tapi, pendekatan inkubator tiap negara itu berbedabeda,” imbuh Wayan.
Begitu pula bila kita melongok kehadiran IBT di Malaysia yang sudah mencapai 103 unit. Padahal, jumlah penduduk mereka hanya 26 juta, cuma 11% dari penduduk Indonesia.
Sejak 2003, Malaysia merilis program Craddle Fund yang mendanai inovator bisnis yang baru tumbuh. Bentuk pendanaannya bernama Craddle Investment Program. Tiap inovator bisnis mendapat pinjaman RM 50.000. Empat tahun kemudian, dana maksimal yang bisa dipinjam satu UMKM bertambah menjadi RM 250.000. Nilai pinjaman maksimal berlipat dua pada 2009 untuk mengakselerasi bisnis UMKM inovasi.
Ketika melihat praktik IBT di Malaysia, Hadi mendapati semua inkubator didukung total oleh pemerintah. Dukungan itu termasuk dari sisi permodalan dengan bunga rendah bagi UMKM tenant atau UMKM yang ditingkatkan kapasitasnya dan biaya operasional inkubator.
Pinjaman dana pemerintah untuk UMKM yang masuk program inkubasi hanya 3% per tahun. Dukungan ini untuk mempercepat pertumbuhan inkubator bisnis berbasis perguruan tinggi agar segera bisa berkontribusi bagi peningkatan daya saing UMKM nasional.
Program serupa di Singapura juga tak kalah menarik. Pemerintah mendanai tiap UMKM yang masuk inkubator bisnis milik perguruan tinggi senilai S$ 50.000. Mereka yakin, ide-ide bisnis dari mahasiswa bisa menjelma menjadi sebuah usaha yang menguntungkan. Yang paling menarik adalah cara Thailand menumbuhkan UMKM melalui inkubator bisnis dari perguruan tinggi. Program ini dicanangkan 12 Desember 2012 lalu. Mulai 2013, ada 63 IBT yang menyalurkan pinjaman lunak kepada UMKM baru bentukan mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi. Syarat lulusan yang boleh menerima dana adalah lulus dari universitas maksimal lima tahun.
Angka 63 IBT itu hasil seleksi dari 150-an inkubator milik universitas negeri dan swasta di Thailand. Setiap UMKM mendapat pinjaman US$ 32.000. Jumlah UMKM yang dipatok mendapat pinjaman pada 2013 ini sebanyak 5.000 UMKM. Angka UMKM ini berlipat dua setiap tahun hingga 2016 nanti.
Saat Hadi menanyakan target tingkat kesuksesan UMKM yang mendapat pinjaman, pemerintah Thailand tak muluk-muluk. Mereka sadar tak semua UMKM bisa sukses dan bertahan. “Tapi, bila 5% saja sukses, artinya ada 3.750 UMKM yang siap bersaing di ASEAN,” kata Hadi, menirukan ucapan pejabat Thailand.
Dari sembilan negara ASEAN, Hadi mengaku paling mewaspadai UMKM Thailand. Dalam berbagai forum resmi, banyak UMKM Thailand yang jelas-jelas menyasar Indonesia sebagai pasar mereka. Selain Indonesia, para UMKM Thailand juga mengincar Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam sebagai pasar. Di empat negara tersebut, pengelolaan UMKM masih dalam tahap awal. Adapun negara ASEAN dengan pengelolaan UMKM yang selevel Indonesia adalah Filipina.
Thailand, Singapura, dan Malaysia berani memberi pembiayaan kepada inkubator perguruan tinggi karena memahami dampak positif dari peningkatan kapasitas UMKM dalam jangka panjang. Saat UMKM jadi berdaya saing, dari pendapatan mereka akan memberi kontribusi pajak bagi negara. “Sebaliknya, pemerintah kita kurang memperhatikan kepentingan jangka panjang tersebut,” ungkap Hadi.
Selama ini, mendanai UMKM dan inkubator bisnis masih dianggap cost center di Indonesia. Padahal, bila UMKM mampu bertahan dan membesar, pemerintah bisa meraup keuntungan yang sangat besar dari efek multiplier yang terjadi. UMKM mampu mengurangi pengangguran dan menyerap tenaga kerja, menggerakkan industri lain karena UMKM membeli bahan baku, hingga setoran pajak dari pelaku UMKM.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 24 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News