kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45907,19   0,90   0.10%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pembinaan UKM, 1 kapal banyak nakhoda


Rabu, 13 Maret 2013 / 17:28 WIB
Pembinaan UKM, 1 kapal banyak nakhoda
ILUSTRASI. Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin COVID-19 jenis Pfizer kepada warga di gedung Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/aww.


Reporter: Anastasia Lilin Y, Herry Prasetyo, Maria Elga Ratri | Editor: Imanuel Alexander

JAKARTA. Apa jadinya jika dalam satu kapal ada lebih dari satu nakhoda? Satu nakhoda minta layar dikembangkan, nakhoda lain minta putar haluan ke kiri, dan nakhoda yang lain lagi mungkin minta merapat sebentar ke dermaga terdekat. Perintah ganda tersebut tentu malah mendatangkan kebingungan awak kapal yang bakal mengeksekusi perintah.

Kondisi seperti itulah yang terjadi di antara para pemegang kebijakan yang berfungsi membina dan mendorong usaha kecil menengah (UMKM) di negara kita agar maju. Ada enam kementerian/lembaga yang mendapat tugas menjadi pembina UMKM, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Perdagangan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Keenam instansi pemerintah ini bergerak di bawah komando Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Meski sudah mencetuskan diri sebagai pembina UMKM, sejumlah kalangan menilai kelompok pembina ini belum maksimal menjalankan perannya. Tak ada sinergi programsatu dengan program yang lain menyebabkan masing-masing kementerian dan lembaga berjalan sendiri. Bahkan, terjadi tumpang-tindih kebijakan.

Deputi Kepala BPPT Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi Tatang Akhmad Taufik membenarkan kekacauan tersebut. Kalau pun ada keterkaitan program, jumlahnya tak banyak. Namun, dia beralasan, itu terjadi karena keterbatasan biaya. BPPT, misalnya, harus mengeluarkan biaya sendiri hingga Rp 5 miliar tahun lalu untuk mendanai inkubator bisnis (inbis) bernama Balai Informasi Teknologi (BIT).

Dana tersebut jelas minim, mengingat UMKM tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Akibatnya, jangkauan BIT terbatas. Menurut Tatang, semestinya ada sinergi program yang dijembatani dengan program nasional. Jadi, semua tugas dan kewajiban setiap kementerian dan lembaga bisa terpetakan dengan jelas.

Direktur Eksekutif Small and Medium Enterprise Development Center Universitas Gadjah Mada (SMEDC UGM) Gatot Murdjito menilai, akibat kerja yang tidak sinergis, beberapa pembiayaan untuk UMKM tidak tepat sasaran. Contoh, UMKM yang sudah besar justru mendapat suntikan dana, sedangkan yang masih berkembang justru tidak. “Kalau bisa saling mempunyai data yang bagus, perguruan tinggi juga bisa membantu ikut memeratakan pembiayaan tersebut,” kata Gatot.

CEO UMKM Center Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Nining I. Soesilo mengatakan, selama bergerak membina UKM, lembaganya tak mendapati sedikit pun peran pemerintah tampak. Pemerintah tak memberikan ruang gerak yang luas bagi UMKM untuk menggelar dagangan, meski untuk pasar dalam negeri.

Nining mencontohkan, untuk wilayah Jakarta saja, UMKM hanya diberi ruang di tempat yang tidak strategis. Sebut saja, gedung Small Medium Enterprise Company (SMESCO) yang sepi pengunjung. Sementara, jika ingin mengajukan diri memasukkan produk di tempat strategis, seperti mal besar atau hotel, lebih banyak ditolak.

Buntut dari peran pembina yang tak optimal, kualitas UMKM dalam negeri tiarap dibandingkan dengan negara tetangga. Kepala Pusat Inkubator Bisnis dan Pengembangan Kewirausahaan Institut Pertanian Bogor (IPB) Memen Surahman berkisah, ketika berkunjung ke Thailand, ia melihat pemerintah Negeri Gajah Putih memberi perhatian besar bagi UMKM.

Sepanjang 2013 sampai 2015, Thailand bakal membiayai lima juta UMKM melalui lembaga inbis. “Mereka bilang, dari jumlah segitu kalau bisa sukses menjadi UMKM berkualitas sebanyak 10% saja alias 500.000 UMKM, maka sudah bisa bersaing ke ASEAN,” tutur Memen.

Masih lemah

Bandingkan dengan pemerintah kita yang hanya menargetkan 25 inbis dengan masingmasing beranggotakan 40 UKM. Itu berarti, tiga tahun lagi hanya akan menghasilkan sekitar 5.000 UKM. Memen menambahkan, di Thailand, satu UMKM mendapat pembiayaan sebesar Rp 300 juta dengan bunga hanya 2% per tahun. Thailand juga optimistis dan tak khawatir dengan risiko kredit macet.

Nada penilaian kualitas UMKM kita yang minim juga tercetus dari Ketua Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali) Levita Supit. Dia menganggap UMKM tanah air masih punya banyak kekurangan dari sisi kualitas dan pengetahuan legalitas membuka usaha.

Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian Euis Saedah menambahkan, UMKM kita juga masih lemah terhadap akses permodalan, hak kekayaan intelektual, deregulasi, dan fasilitas ekspor. Kelemahan lain dari UMKM Indonesia terletak di manajemen usaha dan kontinuitas pasokan bahan baku.

Lantaran kualitas minim, tak heran nada pesimistis bahwa Indonesia sebenarnya belum siap membuka keran globalisasi ASEAN pun muncul. Sebelum membuka pasar bebas, pemerintah mestinya mengupayakan dulu UMKM lokal mencari pasar di dalam negeri. Ambil contoh, dengan membuat kebijakan yang mewajibkan mal-mal besar memberikan ruang bagi UMKM memajang produknya. “Coba lihat di Pacific Place, misalnya, ada tidak itu barang UMKM?” tanya Nining.

Namun, tak semua pihak kompak mengakui kelemahan UMKM dalam negeri. Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UMKM Kementerian Koperasi dan UMKM I Wayan Dipta memastikan, UMKM kita siap tempur. “UKM kita enggak masalah, tuh, dan mereka bilang enggak ngerasa takut. Malah mereka mengatakan, untuk memenuhi pasar domestik saja mereka kewalahan,” klaimnya.

Wayan juga meyakinkan, pemerintah sudah melakukan upaya maksimal, mulai dari membina UMKM hingga menemukan pasar. Ini terjadi tatkala pemerintah mengajak para UMKM untuk pameran di beberapa negara. Dia juga menampik anggapan miring soal tak ada sinergi antar pembina UMKM di kalangan pemerintah.

Setali tiga uang, Ketua Asosiasi Inkubator Bisnis Indonesia (AIBI) Asril Fitri Syamas menyatakan, kalau tidak ada kesamaan program, bukan berarti tak ada sinergi. Ini terjadi karena masing-masing pihak menangani bidang sesuai dengan fokus masing-masing.

Bantuan pembiayaan

Asal tahu saja, keenam instansi pemerintah tadi tak membina langsung pelaku UMKM. Mereka menunjuk inbis. Inbis inilah yang menjaring pelaku UMKM pemula yang disebut tenant melalui proses seleksi. Tenant yang lolos seleksi kemudian bakal dibina setidaknya hingga tiga tahun atau masuk dalam masa inkubasi.

Inbis bisa dari pemerintah, perguruan tinggi, atau swasta. Asril bilang, jumlah inbis di AIBI saat ini ada 40 unit. Sebanyak 80% di antaranya perguruan tinggi, seperti IPB, Institut Teknologi Bandung (ITB), UGM, dan Universitas Brawijaya. Inbis pemerintah, contohnya, BPPT dan LIPI. Sedangkan inbis swasta, misalnya PT Telkom Tbk dan PT Inti.

Masa inkubasi bagi para tenant hanya meliputi pelatihan dan pembinaan, tidak masuk hingga ranah pembiayaan. “Saat ini, memang belum tapi setelah Peraturan Presiden tentang Inkubator Kewirausahaan disahkan, ada peluang untuk langsung memberikan pembiayaan ke mereka,” ujar Wayan.

Besar pembiayaan yang bisa disalurkan kepada pelaku UMKM nantinya bervariasi, tergantung pada jenis usaha. Pembiayaan bisa sampai ratusan juta rupiah dengan bunga antara 4%-6% per tahun dan masa pengembalian hingga tiga tahun.

Menurut Wayan, yang mendasari peluang pembiayaan tersebut diatur dalam perpres adalah, kesulitan pelaku UMKM pemula mendapatkan pembiayaan dari bank konvensional. Wajar bank berhati-hati, karena mereka mempertimbangkan sejumlah persyaratan sebelum mengucurkan kredit.

Sejauh ini, untuk mengatasi masalah pembiayaan, inbis menjembatani dengan menyodorkan pembiayaan dari Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (LPDB-KUMKM), atau dana yang berasal dari joint venture. Bisik-bisik di kalangan pemerintah sendiri, joint venture justru menyebabkan beban bunga yang harus ditanggung tenant jadi tinggi, bisa 24% per tahun. Artinya bunga tersebut sama saja, dong, dengan bunga kredit tanpa agunan (KTA).

Semoga upaya pemerintah memajukan UMKM bukan bualan di atas kertas.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 24 - XVII, 2013 Laporan Utama


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×