Reporter: Raymond Reynaldi |
JAKARTA. Dampak perdagangan bebas ASEAN-China (AC-FTA) ternyata sudah menjalar ke industri kosmetik dan jamu. Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia (Perkosmi) memperkirakan, penjualan produk kosmetik dan jamu dalam negeri menyusut hingga separuh.
"Kami melakukan survei di Semarang, penurunan penjualan jamu dan kosmetik sekitar 50%," ujar Ketua Bidang Industri Perkosmi Putri K. Wardhani, Senin (18/1).
Menurutnya, industri kosmetik dan jamu sangat rentan saat menghadapi serbuan produk sejenis asal China yang harganya jauh lebih murah. Di lain pihak, industri kosmetik China sangat mudah merambah pasar negara lain, seperti Indonesia, karena pemerintah Tembok Raksasa itu memberikan dukungan penuh.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Charles Saerang juga memiliki hitungan yang mirip dengan Perkosmi. "Potensi kehilangan penjualan jamu kita bisa mencapai Rp 4 triliun," kata Charles, Selasa kemarin (19/1). Padahal, potensi penjualan jamu tahun ini mencapai Rp 10 triliun, naik dari Rp 8,5 triliun pada tahun 2009 lalu.
Menurut Charles, angka Rp 4 triliun itu merupakan hasil perkiraan penjualan klinik-klinik herbal asing yang kini sudah menjamur di Pulau Jawa. Jumlahnya telah mencapai sekitar 100 klinik.
Ia memperkirakan, klinik herbal asing itu hanya kedok untuk memasarkan obat herbal asing yang izin edarnya amat sulit didapatkan.
Meminta perlindungan
Khawatir dengan kondisi industri kosmetik dan jamu dalam negeri, Perkosmi meminta pemerintah melindungi industri yang berbasis budaya tersebut.
Misalnya, dengan mewajibkan kemasan produk menggunakan bahasa Indonesia dan memasukkan produk kosmetik dan jamu ke dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 56/2008 tentang Impor Produk Tertentu.
Mereka menilai, Permendag itu mampu meredam impor kosmetika dan jamu karena hanya boleh masuk melalui lima pelabuhan di Indonesia.
Charles juga berharap, pemerintah bisa menjalankan strategi bertahan dan menyerang. Dalam posisi menyerang, Kementerian Perdagangan dapat mempromosikan produk jamu Indonesia di pasar internasional.
Sementara itu, dalam posisi bertahan, "Pengawasan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) juga perlu ditingkatkan," imbuh Charles.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News