kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.303.000   7.000   0,30%
  • USD/IDR 16.584   -33,00   -0,20%
  • IDX 8.251   84,91   1,04%
  • KOMPAS100 1.131   14,37   1,29%
  • LQ45 800   15,27   1,95%
  • ISSI 291   1,34   0,46%
  • IDX30 418   7,16   1,74%
  • IDXHIDIV20 473   8,42   1,81%
  • IDX80 125   1,66   1,35%
  • IDXV30 134   1,28   0,97%
  • IDXQ30 131   2,43   1,89%

Pajak Progresif Ekspor NPI dan Feronikel, Ini Respon Perhapi


Senin, 24 Januari 2022 / 06:20 WIB
Pajak Progresif Ekspor NPI dan Feronikel, Ini Respon Perhapi


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memastikan tahun ini akan mengenakan pajak progresif untuk ekspor nickel pig iron (NPI) dan feronikel.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli menjelaskan, pandangan umum mengenai ide atas rencana pengenaan pajak ekspor progresif terhadap komoditas hasil pengolahan nikel. Menurutnya kebijakan ini didasari oleh beberapa hal.

"Yang pertama, realisasi harga nikel yang tinggi di kisaran harga US$ 20.000 per ton didorong oleh penggunaan nikel untuk baterai mobil listrik yang meningkat," jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (23/1).

Seiring dengan perkembangan industri mobil listrik yang kian besar di beberapa tahun ke depan, Rizal memprediksi harga nikel akan stabil atau bahkan lebih tinggi, sehingga keuntungan yang diperoleh pabrik pengolahan nikel pun akan meningkat.

Kedua, sebagian besar pabrik pengolahan nikel di Indonesia, adalah pabrik stand alone atau pabrik yang tidak terintegrasi dengan penambangan. Hanya beberapa saja yang terintegrasi antara penambangan dan pengolahan.

Baca Juga: Ini Tujuan Pemerintah Kenakan Pajak Progresif Ekspor NPI dan Feronikel

Terkait pengenaan royalti, berdasarkan ketentuan, pabrik pengolahan nikel yang terintegrasi dengan penambangan, maka royalti dikenakan atas produk hasil pengolahan.

Artinya, perusahaan penambangan dan juga memiliki pabrik pengolahan nikel, dikenakan royalti atas produk akhir yang dihasilkan, selain pajak pendapatan badan dan pajak karyawan.

Sedangkan pabrik pengolahan yang tidak terintegrasi (stand alone), karena bahan baku diperoleh atau dibeli dari perusahaan penambangan, maka royalti atas bijih nikel, dikenakan atau dibayarkan oleh perusahaan penambang.

Artinya, bagi perusahaan pabrik pengolahan nikel stand alone, penerimaan negara yang dibayarkan hanya berupa pajak penghasilan badan, serta pajak karyawan, di mana kewajiban tersebut juga berlaku untuk perusahaan lain di sektor lain.      

Ketiga, jumlah pabrik pengolahan nikel dengan teknologi pyrometalurgy atau peleburan yang menggunakan bahan baku bijih nikel tipe saprolite, berjumlah cukup banyak dan jumlahnya terus bertambah.

Sementara itu, jumlah cadangan bijih nikel tipe saprolite yang menjadi bahan baku teknologi pryrometalurgi tidak mengalami peningkatan signifikan.

"Berdasarkan data dari KESDM, dengan memperhitungkan kebutuhan bahan baku nikel saprolite versus data cadangan nikel tipe saprolite, maka umur operasi pabrik pengolahan dengan teknologi peleburan ini, tidak sampai berumur 10 tahun," ungkap Rizal.

Di sisi lain, cadangan bijih nikel yang cukup besar jumlahnya, adalah nikel tipe limonite, dengan jumlah sekitar 3,6 miliar ton. Sementara itu, pabrik pengolahan nikel yang bisa mengolah nikel tipe limonite, yaitu pabrik berteknologi hydrometalurgy masih terbatas.

Tercatat baru satu pabrik pengolahan dengan teknologi hydrometalurgy yang beroperasi di Indonesia, yaitu di Pulau Obi Maluku Utara.

"Dengan kondisi tersebut, pengenaan pajak ekspor atas hasil pengolahan nikel, jikapun akan dikenakan, harus dilakukan dengan hati-hati, serta dengan mempertimbangkan aspek teknis, ekonomis dan pengembangan iklim investasi di Indonesia," tegas Rizal.

Baca Juga: Segudang Masalah Menghambat Bikin Proyek Hilirisasi Tambang Berjalan Lambat

Maka dari itu, Rizal mengatakan Perhapi mengusulkan beberapa hal dalam implementasi pungutan progresif ekspor nikel.

Rizal menerangkan, pengenaan pajak ekspor progresif tidak dikenakan berdasarkan jenis produk yang dihasilkan, misalnya Nickel Pig Iron atau Ferronickel. Namun, pajak ekspor tersebut dikenakan bagi pabrik pengolahan yang bahan bakunya adalah nikel tipe saprolite.

"Artinya, produk nikel dalam bentuk nikel matte misalnya, yang juga menggunakan bahan baku nikel saprolite, semestinya juga dikenakan pajak ekspor tersebut, seperti halnya NPI dan Ferronickel," terangnya.

Usulan kedua, pabrik pengolahan nikel, termasuk yang berteknologi pryrometalurgy mempunyai nilai investasi yang cukup mahal, dengan resiko investasi yang cukup besar, sementara di satu sisi, harga nikel di pasar global, memiliki tingkat volatility yang cukup tinggi.

Mengacu pada harga nikel dalam 5 tahun terakhir yang berlaku di London Metal Exchange, harga nikel berkisar dari US$ 10.000 hingga US$ 20.000 per ton.

Menurutnya, secara keekonomian, pabrik pengolahan nikel dengan sistem peleburan, umumnya dinyatakan menguntungkan serta investasi terjamin, jika harga nikel berkisar di angka 15.000 per ton.

Artinya, jika harga nikel jatuh di bawah angka US$ 15.000 per ton, maka risiko investasinya cukup tinggi. Dalam kondisi tersebut, perusahaan yang terpaksa menanggung risikonya, tanpa adanya "intervensi" atau "bantuan" dari Pemerintah.     

"Nah, karena itu, Pemerintah tidak dapat serta merta mengenakan pajak ekspor terhadap produk nikel yang bahannya berasal dari nikel tipe saprolite, jika harga nikel di pasar dunia tidak mencapai level harga yang ekonomis," kata Rizal.

Baca Juga: Selain Dongkrak Ekonomi, Nikel Menyisakan Masalah Lingkungan yang Belum Teratasi

Maka dari itu, Rizal menilai, pemerintah harus adil dan berimbang dalam hal ini. Jangan sampai ketika harga nikel jatuh di nilai yang tidak ekonomis, pemerintah "diam-diam" saja dan tidak memberikan bantuan apapun, namun pada saat harga tinggi, Pemerintah hadir untuk mengenakan pajak ekspor.

Usulan ketiga, pemerintah perlu membuat persyaratan-persyaratan atas pengenaan pajak itu. Misalnya, pajak ekspor dikenakan jika harga nikel selama tiga bulan terturut-turut, mencapai harga US$ 20.000 per ton. Selain itu, pajak ekspor tersebut dikenakan bagi perusahaan yang telah beroperasi selama 3 tahun.  

Terakhir, Perhapi berpesan, terhadap produk nikel yang bahan bakunya nikel tipe limonite, pengenaan pajak ekspor ini ditiadakan, mengingat teknologi hydrometalurgy yang nilai investasinya lebih besar, biaya produksi yang lebih mahal, serta risiko teknis yang lebih besar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×