Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto
Ketiga, jumlah pabrik pengolahan nikel dengan teknologi pyrometalurgy atau peleburan yang menggunakan bahan baku bijih nikel tipe saprolite, berjumlah cukup banyak dan jumlahnya terus bertambah.
Sementara itu, jumlah cadangan bijih nikel tipe saprolite yang menjadi bahan baku teknologi pryrometalurgi tidak mengalami peningkatan signifikan.
"Berdasarkan data dari KESDM, dengan memperhitungkan kebutuhan bahan baku nikel saprolite versus data cadangan nikel tipe saprolite, maka umur operasi pabrik pengolahan dengan teknologi peleburan ini, tidak sampai berumur 10 tahun," ungkap Rizal.
Di sisi lain, cadangan bijih nikel yang cukup besar jumlahnya, adalah nikel tipe limonite, dengan jumlah sekitar 3,6 miliar ton. Sementara itu, pabrik pengolahan nikel yang bisa mengolah nikel tipe limonite, yaitu pabrik berteknologi hydrometalurgy masih terbatas.
Tercatat baru satu pabrik pengolahan dengan teknologi hydrometalurgy yang beroperasi di Indonesia, yaitu di Pulau Obi Maluku Utara.
"Dengan kondisi tersebut, pengenaan pajak ekspor atas hasil pengolahan nikel, jikapun akan dikenakan, harus dilakukan dengan hati-hati, serta dengan mempertimbangkan aspek teknis, ekonomis dan pengembangan iklim investasi di Indonesia," tegas Rizal.
Baca Juga: Segudang Masalah Menghambat Bikin Proyek Hilirisasi Tambang Berjalan Lambat
Maka dari itu, Rizal mengatakan Perhapi mengusulkan beberapa hal dalam implementasi pungutan progresif ekspor nikel.
Rizal menerangkan, pengenaan pajak ekspor progresif tidak dikenakan berdasarkan jenis produk yang dihasilkan, misalnya Nickel Pig Iron atau Ferronickel. Namun, pajak ekspor tersebut dikenakan bagi pabrik pengolahan yang bahan bakunya adalah nikel tipe saprolite.
"Artinya, produk nikel dalam bentuk nikel matte misalnya, yang juga menggunakan bahan baku nikel saprolite, semestinya juga dikenakan pajak ekspor tersebut, seperti halnya NPI dan Ferronickel," terangnya.