kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pakar IPB ingatkan RPP kawasan hutan jangan sampai merugikan petani


Rabu, 23 Desember 2020 / 12:57 WIB
Pakar IPB ingatkan RPP kawasan hutan jangan sampai merugikan petani
ILUSTRASI. Pakar IPB ingatkan RPP kawasan hutan jangan sampai merugikan petani


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

Selama ini yang terjadi, KLHK membebankan korporasi dengan biaya kerugian yang menghitung semua biaya  kerusakan hutan yang telah dan akan terjadi sebagai biaya ganti rugi. Akibatnya, nilainya menjadi sangat besar dan tidak mungkin dibayarkan.Idealnya, ganti rugi seharusnya dihitung berdasarkan kemampuan usaha.

“Jadi tidak mungkin perusahaan yang punya aset Rp 300 miliar dibebani dengan ganti rugi hingga Rp 3 triliun jika terbukti bersalah. Pemahaman ini perlu perbaikan bersama,” kata dia.

Ridho juga menyoroti tentang kewajiban perusahaan perkebunan untuk membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup.

Baca Juga: Kawasan Industri Jababeka (KIJA) raih marketing sales Rp 558 miliar di kuartal III

Menurut Ridho, suatu kegiatan yang sudah dilakukan berulang-ulang sebenarnya tidak memerlukan amdal. Tetapi analis amdal telah dimasukkan menjadi peraturan.  “Jadi subtansinya jika analis amdal sudah masuk dalam peraturan,  hal ini punya potensi untuk memperkuat lingkungan hidup,” kata dia.

Pencabutan izin berusaha juga harus dilakukan berhati-hati, terutama terkait batas waktu perizinan maksimal.“Kebijakan ini perlu dievaluasi. Hal ini karena perusahaan baru beroperasi setelah mendapatkan HGU. Mungkin jangka waktunya bisa diperpanjang agar tidak terjadi pencabutan izin yang kontraproduktif dan justru melemahkan UU Ciptakerja.”

Di sisi lain, kata Ridho, pencabutan izin dan pengembalian lahan kepada negara, punya persoalan baru yakni belum jelas siapa yang bertanggung jawab sebagai negara. “Jika penanggung jawabnya tidak jelas, maka akan timbul persoalan baru yakni konsesi tersebut menjadi menjadi open acces yang berpotensi bisa dijadikan bancakan.”

Petrus Gunarso, Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia(PERSAKI)  mengingatkan, terminologi “keterlanjuran” dan “kawasan terlantar” dalam RPP harus berhati-hati dipergunakan.

Pasalnya dalam pemahaman istilah keterlanjuran yang menyangkut nasib 3,4 juta hektar kebun sawit di Kawasan hutan,  KHLK juga termasuk sebagai pihak yang bertanggung jawab. Dan banyak juga di antaranya merupakan perkebunan milik petani.

Selanjutnya: Jababeka (KIJA) belum punya rencana ekspansi pasca gagal di tender Patimban

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×