kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pakar pertanian: Distribusi beras antar daerah seret karena terganjal regulasi


Jumat, 14 Desember 2018 / 18:39 WIB
Pakar pertanian: Distribusi beras antar daerah seret karena terganjal regulasi
ILUSTRASI. Problem distribusi pangan


Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik merilis data potensi surplus dan defisit beras tahun 2018. Sepanjang tahun hingga Desember nanti, area yang diperkirakan alami defisit terbesar adalah DKI Jakarta, Jawa Barat dan Sumatera Utara. Pergerakan beras dari area surplus ke defisit diperkirakan berat karena perdagangan komoditas ini sudah kepalang terlalu banyak regulasi.

Untuk produksi beras sepanjang tahun 2018, BPS memperkirakan lima area utama yang bakal menghasilkan surplus beras untuk tahun ini adalah Sulawesi Selatan sebanyak surplus 2,32 juta ton, Jawa Timur surplus 1,75 juta ton, Jawa Tengah surplus 1,72 juta ton, Sumatera Selatan surplus 687.694 ton

Sedangkan lima daerah teratas yang alami defisit beras adalah DKI Jakarta defisit 1,24 juta ton, Jawa Barat defisit 770.587 ton, Sumatera Utara defisit 564.933 ton, Riau defisit 425.498 ton, Banten defisit 411.044 ton.

Habibullah Deputi Bidang Statistik Produksi BPS menyampaikan walau terjadi defisit lebar di sejumlah daerah tertentu, namun masih ada surplus beras tahun ini di 2,85 juta ton. Adapun defisit terjadi karena terkait jelang akhir tahun panen semakin turun. Tak hanya itu jumlah masyarakat di provinsi tersebut lebih besar dari lainnya. "Karena konsumsi tetap tapi produksi terus turun, terkait dengan jumlah masyarakat nya juga," kata Habibullah, Jumat (14/12).

Adapun produksi gabah kering giling menurut Badan Pusat Statistik hingga akhir tahun 2018 diperkirakan bakal mencapai 56,54 juta ton. Puncak produksi terjadi di bulan Maret dengan capaian 5,42 juta ton dan berangsur turun. Produksi merosot tajam pada Oktober hingga Januari dimana hanya mencapai 1,2 juta ton-1,5 juta ton dalam empat bulan tersebut.

Capaian sepanjang tahun ini memperkirakan lima area utama produsen GKG adalah Jawa Timur menghasilkan GKG 10,54 juta ton, Jawa Barat 9,54 juta ton, Jawa Tengah 9,51 juta ton, Sulawesi Selatan 5,74 juta ton dan Sumatera Selatan 2,65 juta ton.

Pakar pertanian dan pangan dari Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Husein Sawit, melihat defisit yang terjadi ini akibat regulasi pemerintah yang terlalu mengekang. "Pergerakan beras saat ini agak seret, ada kebijakan yang membuat pedagang takut memegang stok," katanya.

Maksudnya, bila pengusaha menahan stok dalam jumlah banyak, terdapat kekhawatiran dituduh kartel mengendalikan harga. Maka bila daerah DKI Jakarta dan Jawa Barat mengalami kekurangan dan provinsi surplus lebih memilih mengamankan kebutuhan lokal, opsinya tinggal berharap pada Bulog. "Padahal stok Bulog hanya sekitar 2 juta ton," lanjut Husein.

Apalagi, stok tersebut mayoritas berasal dari pengadaan luar negeri yang ditargetkan mencapai 1,8 juta ton dan pengadaan dalam negeri 1,6 juta ton. Namun stok tersebut juga digunakan untuk operasi pasar pengendalian harga.

Artinya, bila distribusi beras ingin lancar, Husein menyarankan regulasi terkait beras harus dilonggarkan, terutama dalam pengenaan Harga Eceran Tertinggi agar beras bisa mengalir sesuai mekanisme pasar.

Pasalnya, dengan pengenaan HET, penggilingan jadi terbebani terutama saat masa paceklik karena harus membeli gabah di harga mahal tapi jual di harga terkendali. Hasilnya penggilingan cenderung memproduksi beras premium yang lebih bernilai dan menyebabkan harga beras jadi mahal dan stok medium di masyarakat berkurang.

"Karena kalau dibuat harga flat, tidak ada orang yang mau memegang stok. Karena sebenarnya pedagang ingin ada perbedaan harga saat beda musim. Ingat, stabilisasi harga tidak sama dengan harga flat," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×