Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang dagang yang tengah terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China mulai mempengaruhi minyak nabati yang merupakan salah satu komoditi perdagangan kedua negara tersebut.
Saat ini, stok kedelai di AS tengah melimpah. Hal ini disebabkan oleh pengurangan pembelian kedelai oleh China. Pengurangan ini adalah balasan setelah AS menerapkan tarif impor tinggi atas barang dari China. China telah mempersiapkan diri dengan menumpuk stok di dalam negeri jauh hari sebelum perselisihan dagang dimulai. Akibat stok kedelai AS yang melimpah serta permintaan pasar global yang lemah, harga mulai jatuh.
“Pada saat yang sama stok minyak nabati lain seperti rapeseed, bunga matahari dan minyak sawit juga cukup melimpah di negara produsen. Ini mengakibatkan harga minyak nabati menurun lantaran ketersediaan barang melimpah dan permintaan sedikit,” ujar Mukti Sardjono Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Rabu (11/7).
Sepanjang Mei 2018, volume ekspor minyak sawit secara total termasuk biodiesel dan oleochemical turun 3% menjadi 2,33 juta ton dari 2,39 juta ton pada bulan April. Volume ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya tidak termasuk biodiesel dan oleochemical pada Mei 2018 tercatat menurun 4% dibandingkan dengan April lalu atau dari 2,22 juta ton menjadi 2,14 juta ton di Mei.
“Penurunan ekspor ini dipengaruhi stok minyak nabati lain yang melimpah di pasar global sehingga harga yang murah juga tidak mendongkrak permintaan,” tambah Mukti.
Sementara, Mei ini, volume ekspor CPO dan turunannya ke Pakistan meningkat 29%. Ini merupakan peningkatan yang cukup signifikan setelah selama 3 bulan terakhir stagnan. Naiknya volume ekspor di Pakistan karena harga minyak sawit yang sedang murah sehingga para traders memanfaatkan kesempatan untuk meningkatkan stok minyak sawitnya.
Volume ekspor ke Afrika pun meningkat 29,5% dari 176.640 ton di April menjadi 228.750 ton di Mei. Ini adalah volume tertinggi sepanjang tahun 2018. Sementara ekspor minyak sawit ke China meningkat 6% dan ekspor minyak sawit ke AS meningkat 18%.
Namun, ekspor CPO dan turunannya ke India pada Mei justru menurun 31% atau dari 146.280 ton menjadi 240.160 ton. Ini terjadi akibat tarif bea masuk yang tinggi untuk minyak sawit. Pasar India yang sudah tergerus lebih dari 50% dari sejak awal tahun yang juga turut berkontribusi menyebabkan stock minyak sawit di Indonesia dan Malaysia menjadi tinggi karena susutnya pembelian yang sangat signifikan.
Melimpahnya produksi minyak bunga matahari dan rapeseed pun mengakibatkan ekspor ke Uni Eropa menurun. Sepanjang Mei, Uni Eropa membukukan penurunan impor 7% menjadi 359.310 ton dari bulan sebelumnya 385.100 ton.
GAPKI berharap, pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian khusus kepada industri minyak sawit untuk menjaga agar harga minyak sawit tidak terus merosot. Pemerintah perlu membuat kebijakan untuk meningkatkan konsumsi di dalam negeri dengan menggalakkan penggunaan biodiesel yang lebih banyak, mandatori Biodiesel sudah waktunya diterapkan kepada non-PSO untuk mendongkrak konsumsi di dalam negeri.
Upaya lainnya adalah menjajaki pasar Afrika yang masih memiliki potensi besar akan tetapi infrastruktur masih minim. Pemerintah dapat membuat kebijakan seperti menurunkan tarif ekspor minyak goreng kemasan ke negera Afrika. Pasalnya, Afrika tidak dapat membeli minyak dalam bentuk curah yang harganya lebih murah daripada kemasan karena tidak memiliki infrastruktur tangki timbun.
Produksi minyak sawit Mei ini pun mencapai 4,24 juta ton atau naik 14% dibandingkan pada April. Produksi ini mengerek stok minyak sawit Indonesia menjadi 4,76 juta ton dibanding pada bulan lalu di 3,98 juta ton.
Harga CPO global pada Mei pun bergerak di kisaran US$ 650 – US$ 670 per metrik ton dengan harga rata-rata US$ 653,6 per metrik ton. Harga rata-rata Mei menurun US$ 8,6 dibandingkan harga rata-rata pada April lalu US$ 662,2 per metrik ton.
“Harga minyak sawit pada bulan mendatang diperkirakan akan cenderung menurun karena stok minyak sawit Indonesia dan Malaysia yang masih tinggi,” tandas Mukti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News