Reporter: Petrus Dabu |
JAKARTA. Mulai Maret 2012, PT Pertamina (Pesero) akan mengoperasikan floating storage regasification unit (FSRU) Teluk Jakarta. Namun, dari total kapasitas 3 juta metrik ton per tahun atau setara 400 juta kaki kubik gas per hari (mmscfd), Pertamina baru mendapatkan komitmen pasokan separuhnya, dari LNG Bontang.
M. Harun, Vice President Corporate Communication Pertamina mengatakan, komitmen pasokan gas hingga kini masih menjadi kendala atas FSRU yang dibangun Pertamina. Padahal, mulai tahun 2013, Pertamina membutuhkan 10 juta metrik ton gas alam cair (LNG) per tahun untuk mengisi terminal-terminal apung yang dibangunnya.
Sayang, hingga kini, belum semua terminal apung tersebut mendapatkan komitmen pasokan LNG dari pemerintah. Misalnya, pembangunan FSRU Jawa Tengah berkapasitas 3 juta metrik ton per tahun yang bakal beroperasi kuartal I 2013, hingga kini, Pertamina belum mendapatkan kepastian pasokan gas.
Kondisi yang sama juga dialami pada proyek anak usaha Pertamina, PT Pertamina Gas yang membangun pipa Transjawa mulai awal 2012. Pipa ini menghubungkan Semarang-Gresik sepanjang 250 km dan diperkirakan beroperasi pada 2013. Melalui pipa ini, gas FSRU Jawa Tengah mengalir ke pembangkit PLN di Gresik.
Pertamina juga akan membangun mini LNG receiving terminal bersama PLN untuk Tanjung Batu, Batakan, Balikpapan, Semberah, Bali, Pomala, Jeneponto, Tello, Minahasa dan Halmahera dengan total kapasitas 1 juta metrik ton per tahun. Terminal mulai beroperasi pada kuartal III 2013.
Kemudian, Pertamina tengah merevitalisasi kilang Arun di Aceh menjadi LNG receiving terminal berkapasitas 3 juta metrik ton. Terminal akan bekerja di awal 2013 untuk memasok industri di Aceh dan Sumatera Utara, serta pembangkit listrik.
Ketika semua fasilitas itu sudah beroperasi di 2013, kata Harun, Pertamina butuh pasokan LNG besar. Agar pasokan gas lancar, Harun bilang, kecil kemungkinan Pertamina memilih opsi impor LNG dari Timur Tengah. Sebab, harga LNG sudah melambung ke US$ 18 per mmbtu mengikuti harga minyak dunia. “Makanya, Pertamina mendorong Pemerintah memanfaatkan opsi kewajiban domestic market obligation (DMO) yang belum dipenuhi produsen gas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang menghasilkan LNG,” ujar Harun, Kamis (8/12).
Pertamina juga mendorong pemerintah merenegosiasi kontrak LNG yang harganya masih murah, misalnya kontrak pembelian LNG dari Tangguh, Papua, dengan Fujian, China. Harga pasar LNG berkisar 15%-20% dari harga Japan Cocktail Crude (JCC) atau sekitar USD 16,5-US$ 22 per mmbtu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News