Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berupaya mengurangi nilai defisit neraca perdagangan. Salah satu caranya lewat merevisi aturan pajak penghasilan (PPh) impor. Pelaku industri pun mengingatkan agar pemerintah cermat dalam mengatur hal tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia ( Apindo), Hariyadi Sukamdani menjelaskan PPh impor mesti dipertimbangkan apakah produk impor itu merupakan bahan baku, barang modal, atau produk yang diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah.
"Bila sembarang mengenakan PPh impor nantinya malah membuat kita semakin tidak kompetitif karena produk kita jadi mahal," kata Hariyadi kepada Kontan.co.id, Kamis(30/8).
Sementara, Elisa Sinaga, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) menjelaskan rencana pemerintah untuk menaikan Pph impor sebenarnya baik dengan maksud sedikit menahan laju peningkatan impor. Terutama untuk produk konsumsi yang dapat dibuat oleh industri lokal.
"Seperti halnya keramik, industri nasional sangat siap dan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri," kata Elisa kepada Kontan.co.id, Jumat (31/8).
Elisa menambahkan bila impor bisa berkurang dan permintaan tetap maka produk nasional dapat menggantikan produk import dan ini bisa jadi membuat industri lokal lebih bergairah.
"Pemerintah harus memilah dengan baik untuk produk yang akan dinaikan Pajaknya. Untuk produk bahn baku pendorong peningkatan industri sebaiknya tidak dikenakan," tambahnya.
Rachmat Hidayat, Wakil Ketua GAPMMI Bidang Kebijakan Publik menjelaskan, industri pengolahan dalam negeri masih membutuhkan impor baik berupa bahan baku, bahan penolong maupun barang modal yang belum tersedia di dalam negeri.
Menurutnya ada beberapa komoditi yang dari kode HS itu sama baik untuk bahan baku atau pun barang jadi. "Jadi pembatasan impor yang tidak hati-hati akan kontraproduktif terhadap perkembangan industri dalam negeri," papar Rachmat kepada Kontan.co.id, Kamis (30/8).
Selain itu, Rachmat mengingatkan aturan ini bisa memicu masalah di tingkat internasional, khususnya di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mengingat kebijakan ini bisa menyulut perang tarif dengan negara lain.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, menyatakan bahwa pembatasan atau pengendalian barang impor selain untuk mengurangi defisit transaksi berjalan juga sangat penting untuk mendorong kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dari hulu ke hilir.
Redma menjelaskan bahwa konsumsi TPT dalam negeri naik rata-rata 6% pertahun, namun pertumbuhan dinikmati oleh barang-barang impor yang membanjiri pasar sehingga utilisasi produksi sektor ini masih rendah. “Produsen dalam negeri sangat bisa mensubstitusi produk impor karena utilisasinya rata-rata baru mencapai 73,8%” tegas Redma.
APSyFI sudah menyampaikan usulan kepada beberapa kementerian, terkait produk yang impornya perlu dibatasi. “HS 54 dan 55 dari mulai serat, benang hingga kain, kualitas dan kapasitas dalam negeri-nya sangat cukup untuk mensubstitusi produk impor,” tegas Redma.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News