Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Handoyo .
Rachmat Hidayat, Wakil Ketua GAPMMI Bidang Kebijakan Publik menjelaskan, industri pengolahan dalam negeri masih membutuhkan impor baik berupa bahan baku, bahan penolong maupun barang modal yang belum tersedia di dalam negeri.
Menurutnya ada beberapa komoditi yang dari kode HS itu sama baik untuk bahan baku atau pun barang jadi. "Jadi pembatasan impor yang tidak hati-hati akan kontraproduktif terhadap perkembangan industri dalam negeri," papar Rachmat kepada Kontan.co.id, Kamis (30/8).
Selain itu, Rachmat mengingatkan aturan ini bisa memicu masalah di tingkat internasional, khususnya di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mengingat kebijakan ini bisa menyulut perang tarif dengan negara lain.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, menyatakan bahwa pembatasan atau pengendalian barang impor selain untuk mengurangi defisit transaksi berjalan juga sangat penting untuk mendorong kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dari hulu ke hilir.
Redma menjelaskan bahwa konsumsi TPT dalam negeri naik rata-rata 6% pertahun, namun pertumbuhan dinikmati oleh barang-barang impor yang membanjiri pasar sehingga utilisasi produksi sektor ini masih rendah. “Produsen dalam negeri sangat bisa mensubstitusi produk impor karena utilisasinya rata-rata baru mencapai 73,8%” tegas Redma.
APSyFI sudah menyampaikan usulan kepada beberapa kementerian, terkait produk yang impornya perlu dibatasi. “HS 54 dan 55 dari mulai serat, benang hingga kain, kualitas dan kapasitas dalam negeri-nya sangat cukup untuk mensubstitusi produk impor,” tegas Redma.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News