Reporter: Filemon Agung | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para pelaku usaha berharap pemerintah tetap mempertahankan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk sejumlah sektor industri.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengungkapkan, pihaknya menyambut baik rencana perluasan industri penerima manfaat HGBT oleh pemerintah.
Menurutnya, selama ini sejumlah segmen industri termasuk industri keramik telah merasakan dampak positif kebijakan harga gas khusus US$ 6 per MMBTU ini.
"Adanya Investasi baru sebesar Rp 5,5 triliun dengan penambahan kapasitas produksi baru sebesar 75 juta m2 per tahun yang diharapkan selesai di akhir tahun 2024 atau awal tahun 2025 dengan penyerapan tenaga kerja baru mencapai 10.000 orang," kata Eddy kepada Kontan, Selasa (8/8).
Baca Juga: Tidak Hanya Komitmen Investasi, Ini Harapan Industri Pabrikan Modul Surya
Edy melanjutkan, pihaknya berharap pemerintah tetap mempertahankan kebijakan harga gas sebesar US$ 6 per MMBTU. Apalagi saat ini industri keramik dengan dihadapkan pada tantangan produk impor dari Tiongkok dan India. Selain itu, dengan mempertahankan besaran harga dan kebijakan terkait harga gas maka ini juga bakal memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha.
Meski demikian, jika kemudian pemerintah mengambil kebijakan untuk menyesuaikan harga gas, maka Asaki berharap ada jaminan kelancaran pasokan gas.
"Serta pemenuhan 100% volume alokasi gas seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM/2023," kata Edy.
Edy menjelaskan, selama ini pelaku usaha industri keramik di Jawa Timur belum menerima manfaat penuh dari kebijakan harga gas khusus ini. Menurutnya, Alokasi Gas Untuk Industri Tertentu (AGIT) di Jawa Timur dibatasi sebesar 65% sementara untuk wilayah Jabar AGIT dibatasi sebesar 85%-90%. Pemakaian gas di atas batas tersebut pun dikenai tarif yang lebih tinggi di kisaran US$ 7,98 per MMBTU hingga US$ 11,9 MMBTU.
Kebijakan ini dirasa kian memberatkan karena besaran pemakaian gas yang melebihi alokasi baru diinfokan setelah pemakaian.
"Kebijakan AGIT ini tentunya bertolak belakang dengan semangat Pemerintah untuk mendorong peningkatan daya saing Industri," sambung Edy.
Edy menambahkan, persoalan serapan gas yang belum optimal pada industri keramik lebih dikarenakan lambannya tambahan alokasi gas oleh pemerintah dan gangguan pasokan yang dialami PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN).
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP), Yustinus Harsono Gunawan menjelaskan, serapan gas industri kaca lembaran dan pengaman mencapai 100% dari alokasi yang ditetapkan dalam volume Kepmen ESDM.
"Sekitar 80% diserap dengan besaran sesuai HGBT, sementara 20% dengan harga pasar. Artinya, gas bumi ada namun hanya 80% yang dipasok dengan harga sesuai HGBT," kata Yustinus yang juga merupakan Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi.
Baca Juga: Indef: PMI Manufaktur Indonesia Kontradiktif dengan Kenyataan
Yustinus turut mendukung rencana perluasan penerima manfaat HGBT oleh pemerintah. Bahkan, pihaknya berharap kebijakan ini dapat dipercepat untuk mendorong keberlanjutan kinerja industri manufaktur.
Menurutnya, pemerintah perlu memastikan penyaluran gas ke depannya berjalan secara lebih transparan. Sejumlah persoalan yang dihadapi yakni realisasi penyaluran gas yang tidak sesuai alokasi hingga persoalan harga gas yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha tergolong tinggi.
"Misalnya, pelanggan diberitahu pada akhir bulan bahwa volume HGBT hanya 81% dari alokasi HGBT sehingga pemakaian yang 19% harus dibayar dengan harga pasar yang jauh lebih tinggi," ungkap Yustinus.
Yustinus pun berharap pemerintah tidak melakukan penyesuaian atau menaikkan harga gas untuk sektor industri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News