Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak lama, batu bara menjadi primadona bahan bakar pembangkit energi listrik di dunia. Ketersediaannya yang melimpah dan harganya yang terjangkau membuatnya jadi andalan dalam menyediakan energi listrik yang murah di berbagai negara raksasa ekonomi dunia seperti Cina, Amerika Serikat, India, Australia hingga Indonesia.
Indonesia sendiri masuk dalam jajaran empat besar negara produsen batu bara di dunia setelah Cina, Amerika Serikat dan India. Berdasarkan data Index Mundi pada 2018, Cina memproduksi 4,4 miliar short tons batu bara. Sebagai catatan, satu short ton setara dengan 907,2 kg. Pada peringkat kedua, Amerika Serikat mencatat produksi 985 juta short tons, lalu India dengan produksi 675 juta short tons dan Indonesia dengan 539 juta short tons pada 2018 silam.
Baca Juga: Waduh, AS tabuh genderang perang dagang dengan Prancis
China, AS, dan India yang menjadi produsen batu bara terbesar di dunia sekaligus menjadi konsumen batu bara utama di dunia. Uniknya, tidak demikian halnya dengan Indonesia. Masih berdasarkan data Index Mundi, meski masuk negara jajaran atas produsen batu bara dunia, namun urusan konsumsi, Indonesia justru terlempar dari daftar 10 besar konsumen batu bara terbesar dunia dengan konsumsi ‘hanya’ sebesar 115 juta ton di 2018.
Jadi jelas, Indonesia tertinggal sangat jauh dalam urusan pemanfaatan batu bara di dalam negeri. Pun demikian, pemerintah berencana untuk terus mengurangi konsumsi batu bara sebagai pembangkit energi di dalam negeri. Dalam road map Kebijakan Energi Nasional (KEN) dirumuskan bahwa pemanfaatan batu bara dalam bauran energi nasional ditargetkan hanya 30 persen pada 2025. Jumlah itu pun ditargetkan untuk diturunkan menjadi menjadi hanya 25 persen pada 2050.
Selain konsumsi batu bara yang tertinggal jauh dibandingkan negara lainnya di dunia, urusan pemanfaatan limbah batu bara pun setali tiga uang. Di negara maju seperti Amerika Serikat, India, China, dan Jepang mereka menyerap fly ash, bottom ash, dan gipsum sebagai bahan pembuatan jalan, jembatan, paving blok, semen, dan sebagainya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia pun mengungkapkan bahwa di negara lain limbah batu bara tidak dianggap sebagai limbah B3 atau bahan berbahaya dan beracun. “Limbah batu bara, abu batu bara itu bisa digunakan untuk bahan konstruksi di berbagai negara. Cuma di sini saja dianggapnya sebagai B3. Ini kan jadi masalah. Padahal di negara-negara lain seperti di Jepang. Limbah batu bara itu dijadikan bahan konstruksi, bahan bendungan, jalan. Jumlahnya besar, bisa dimanfaatkan sebenarnya,” urai Hendra dalam keterangannya, Selasa (3/11).
Baca Juga: Pengamat: Pemerintah perlu ubah konsep hilirisasi batubara dalam RUU Minerba
Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman juga mengungkapkan hal menarik terkait pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU). Dirinya mengungkapkan pernah beberapa kali mengunjungi PLTU Paiton di Probolinggo Jawa Timur. Selama kunjungan, dirinya justru mengaku tidak menemukan keluhan dari masyarakat sekitar. Sebagai catatan, PLTU Paiton sendiri sudah berdiri sejak tahun 1994 sebagai salah satu PLTU terbesar dan penyuplai listrik terbesar di daerah Jawa-Bali.
“PLTU Paiton itu menggunakan batu bara sebagai bahan bakunya dan yang paling menarik dia hanya berjarak 500 meter dari bibir pantai. Kami beberapa kali kesana, sejauh ini keluhannya tidak ada. Masyarakat malah sangat senang dengan kehadiran PLTU ini. Karena PLTU itu menjadi penopang ekonomi warga sekitar. Lalu terumbu karang dan biota-biota laut yang ada hidup di sekitar itu dan tidak terganggu dengan kehadiran PLTU itu,” jelas Ferdy.