Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan pemerintah untuk menghapus klasifikasi beras medium dan premium menuai kritik tajam dari kalangan praktisi perberasan. Kebijakan ini dinilai justru akan membuka ruang manipulasi mutu dan merugikan konsumen yang tidak lagi memiliki acuan kualitas beras di pasaran.
Cuncun Wijaya, praktisi perberasan asal Aceh, menyebut kebijakan tersebut sebagai langkah mundur dalam pengelolaan tata niaga pangan nasional. Ia menilai, penghapusan klasifikasi beras berpotensi menjadikan pasar perberasan ‘liar’ dan tanpa kendali.
“Menghapus klasifikasi medium dan premium itu berarti menghilangkan standar mutu. Konsumen dan produsen jadi tidak punya acuan. Ini seperti ‘Texas’, bisa seenaknya campur beras tanpa kontrol,” ujar Cuncun kepada Kontan, Senin (28/7/2025).
Baca Juga: Oplosan Beras Tak Melulu Ilegal, Perlu Edukasi dan Regulasi yang Jelas
Menurut Cuncun, lidah konsumen Indonesia tidak bisa dibohongi. Ketika beras kualitas rendah terus dijual bebas tanpa label yang jelas, konsumen akan menjadi korban.
“Pertanyaannya, apakah rakyat hanya ingin harga murah tapi tak peduli kualitas?” ujarnya.
Ia juga menyoroti target pemerintah untuk mematok harga eceran tertinggi (HET) beras pada kisaran Rp 13.500 hingga Rp 14.000 per kg. Menurutnya, angka itu tidak realistis jika dibandingkan dengan harga gabah yang terus naik.
“Harga gabah di Aceh sudah Rp 9.000, di Sumut Rp 8.500, di Jatim Rp 8.200. Kalau hasil randoman 51% artinya 2 kg padi jadi 1 kg beras. Biaya produksi saja sudah hampir Rp 17.000 per kg, itu belum termasuk ongkos karung, distribusi, dan lainnya,” jelasnya.
Cuncun menilai, jika HET tetap dipaksakan, maka pelaku usaha akan cenderung mencampur beras dengan komponen kualitas rendah, seperti menir atau beras rusak.
“Bisa muncul beras warna hitam, kuning, atau yang rusak karena penyimpanan. Masa rakyat mau makan beras kayak begitu?” sindirnya.
Menurutnya di negara lain, klasifikasi mutu beras sangat ketat. Ia mencontohkan bahwa standar internasional hanya memperbolehkan maksimal 5% beras pecah (broken), sementara di Indonesia 15% untuk beras premium dan bisa mencapai 40% untuk kelas medium.
“Kalau semua disamakan jadi satu jenis ‘beras saja’, nanti beras broken 50% pun bisa dijual bebas. Di luar negeri itu tak mungkin terjadi. Kita justru menurunkan standar nasional, padahal dulu BSN sudah coba harmonisasi dengan standar internasional,” ujarnya.
Ia bahkan menyebut bahwa perubahan standar ini dimulai sejak 2017, ketika Menteri Pertanian saat itu, Amran Sulaiman, menurunkan standar mutu beras nasional yang sudah disusun oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Soal beras oplosan yang menjadi latar belakang kebijakan ini, Cuncun mengatakan bahwa praktik pencampuran beras sebenarnya wajar, bahkan dilakukan di Jepang. Namun yang penting adalah transparansi dan tujuan pencampuran.
“Di Jepang, satu karung bisa berisi empat jenis varietas beras, beda umur panen. Itu bukan penipuan, itu seni menciptakan rasa. Tapi kalau beras Bulog dicampur beras subsidi lalu dijual ke pasar umum, itu jelas salah,” tegasnya.
Baca Juga: Beras Jenis Premium dan Medium Bakal Dihapus, Mengapa?
Terkait pernyataan pemerintah soal potensi kerugian negara hingga Rp 100 triliun akibat praktik beras oplosan, Cuncun menyebut angka tersebut tidak logis. Menurutnya, produksi tiga industri besar yang dituduh hanya sekitar 300 ribu ton per tahun, sangat jauh dari total kebutuhan nasional 33 juta ton.
“Dari mana angka kerugian Rp 100 triliun itu? Kalkulator siapa yang dipakai? Kalau memang ada pelaku curang, tangkap saja. Tapi jangan membuat gaduh pasar dengan klaim yang tidak masuk akal,” katanya.
Ia pun lantas meminta pemerintah berhenti membuat kebijakan populis yang justru menghancurkan kepercayaan pasar. Ia menilai perlu ada revisi terhadap standar kualitas beras, bukan justru penghapusan klasifikasi.
“Kalau tidak paham standar internasional, ya belajar. Jangan buat rakyat makan beras apapun hanya karena murah. Kualitas juga penting. Kalau memang ingin melindungi konsumen, harus ada transparansi dan penegakan hukum, bukan penghapusan acuan mutu,” pungkasnya.
Selanjutnya: Uni Eropa Sepakati Impor US$750 Miliar LNG, Saham Perusahaan Gas AS Langsung Melejit
Menarik Dibaca: Begini Peran Orangtua Untuk Mencegah Anak Terkena Demam Berdarah Dengue
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News