Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kasus beras oplosan kembali menyita perhatian publik setelah Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menuding ada 212 merek beras yang dijual tidak sesuai ketentuan.
Merespons hal ini, Pengamat Pertanian, Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menjelaskan dalam praktik industri perberasan mencampurkan atau opos merupakan bagian dari proses yang legal dan dibutuhkan dalam standar produksi.
Dia menegaskan untuk menghasilkan beras yang berkualitas memang diperlukan proses penggilingan yang mencampurkan butir utuh, patah dan menir.
Khudori mencontohkan beberapa beras memang sengaja dioplos untuk memperbaiki rasa dan tektur sesuai preferensi konsumen. "Misalnya beras pera harus dicampur dengan ayang pulen manakala menyasar konsumen yang suka pulen," jkata Khudori.
Baca Juga: Mentan Amran Tegaskan Tak Ada Tolerasi bagi Pengusaha yang Oplos Beras Premium
Menurut Khudori, ada kesalahan dalam menyampaikan makna pengoplosan beras yang kini menjadi isu di kalangan masyarakat.
Khudori mengatakan mengoplos beras yang dilarang adalah untuk menipu. Misalnya, mencampur 70% beras Cianjur dengan 30% beras Ciherang yang kemudian diklaim 100% beras Cianjur dan dijual dengan harga beras Cianjur, yang memang lebih mahal ketimbang Ciherang.
Contoh kasus lain adalah mencampur beras dengan bahan tidak lazim atau sudah rusak kemudian dikilapkan atau dipoles ulang agar tampak bagus kembali, padahal mutunya sudah menurun.
"Bisa juga mencampur dengan pengawet berbahaya. Ini semua bisa dikenai delik penipuan," ujarnya.
Khudori menegaskan selama pencampuran dilakukan secara transparan dan sesuai standar mutu, maka tidak dapat disebut sebagai pelanggaran.
Justru praktik itu membantu menjaga kualitas produk secara konsisten, karena gabah yang digiling tidak selalu menghasilkan mutu seragam.
Baca Juga: Banyak Merek Beras Tak Sesuai Regulasi, Potensi Kerugian Konsumen Rp 99,35 Triliun
"Memaknai oplos secara negatif telah menimbulkan keresahan, terutama masyarakat konsumen. Produsen pun jadi sasaran tembak," ungkapnya.
Untuk itu, menurut Khudori publik perlu juga dicerahkan terkait sisi teknis terkait pengoplosan beras dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap industri perberasan.
Bersamaan dengan itu, regulator perlu sosialisasi kepada stakeholders perberasan, termasuk ihwal UU Perlidungan Konsumen. Hal ini bertujuan agar semua pihak mendapat informasi yang lebih baik dan dapat bertindak sesuai hak dan kewajibannya.
Selain itu, pemerintah diminta tidak menarik-narik satgas pangan untuk menjadi polisi ekonomi. Menurut Khudori, pendekatan keamanan yang dilakukan sejak tahun 1950-an ini kerap tidak berhasil.
Baca Juga: Mentan Amran Akui Ada Beras Tak Layak di Gudang Bulog, Pastikan Tidak Untuk Masyrakat
Dia bilang pendekatan ini juga menimbulkan kekhawatiran dan ketidakpastian berusaha.
"Karena itu, sebaiknya Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan yang berada di depan. Kalau ditjen ini menemukan tindak kecurangan, barulah diserahkan ke penegak hukum," ujar Khudori.
Selanjutnya: PIS Bidik Pasar Non-Energi, Bakal Angkut Amonia hingga Dry Bulk
Menarik Dibaca: Promo PHD Double Box Hemat, 2 Pizza Mulai Rp 80.000-an Bebas Pilih 14 Topping Favorit
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News