Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana tidak sependapat dengan anggapan bahwa kelangkaan minyak goreng disebabkan oleh CPO yang mayoritas digunakan untuk program biodiesel.
"Menurut saya tidak begitu, program biodiesel kan sudah berjalan sejak 2008, dan kebutuhan minyak goreng juga ada sejak awal. Memang dua-duanya juga tumbuh, dan produksi CPO juga tumbuh," kata Dadan saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (17/2).
Maka Dadan menyebut bahwa tidak ada istilah tarik menarik antara CPO bagi industri pangan terutama minyak goreng dengan kebutuhan untuk biodiesel.
Kemudian soal program B30, Dadan menyampaikan tahun ini ditargetkan mampu mencapai 10,1 juta kiloliter.
Baca Juga: Kemendag Bakal Membawa ke Ranah Hukum Para Penimbun Minyak Goreng
Sebelumnya, Ekonomi Senior Faisal Basri menyebut, polemik minyak goreng lantaran adanya kebijakan yang kurang tepat dari pemerintah. Sehingga membuat penyerapan CPO yang tadinya didominasi oleh industri pangan termasuk minyak goreng, kini bergeser ke industri biodiesel.
Hal tersebut lantaran adanya kebijakan B20 dan B30. Dimana dalam program biodiesel dialokasikan subsidi yang bersumber dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS).
Produsen CPO dinilai Faisal akan lebih memilih menjual CPO mereka ke perusahaan biodiesel ketimbang perusahaan minyak goreng, lantaran harga jual CPO ke pasar biodiesel domestik lebih tinggi daripada dijual ke perusahaan minyak goreng.
Baca Juga: Holding PTPN Lakukan Operasi Pasar untuk Atasi Lonjakan Harga Minyak Goreng
"CPO jual ke perusahaan minyak goreng harganya harga domestik tapi kalau jual ke perusahaan biodiesel dapatnya harga internasional ya otomatis pilih biodiesel, dan siapa itu yang buat seperti itu? ya pemerintah. Jadi biang keladi yang bikin kisruh minyak goreng ini adalah pemerintah karena meninabobokan pabrik biodiesel," tegas Faisal dalam live Gelora TV, Rabu (16/2).