Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
Sementara terkait harga, Singgih memproyeksikan akan terjadi penguatan. Namun, peningkatan harga itu tidak akan berubah secara signifikan. Ia pun menyatakan, meski terjadi penguatan harga namun tetap akan sulit untuk menembus ke level US$ 80 per ton.
Lebih jauh, Singgih menekankan bahwa meskipun terjadi kenaikan harga, kondisi ini tidak semestinya langsung dimaknai untuk meningkatkan jumlah produksi batubara. "Jangan sampai fluktuasi harga yang sedikit naik, lantas diterjemahkan dengan menambah produksi. Harus ada kalkulasi kapasitas produksi dan financial aspect selain pemetaan berbagai parameter pasar," tandasnya.
Baca Juga: RKAB berpotensi direvisi, produksi batubara nasional berpeluang naik melebihi target
Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, pihaknya membuka opsi untuk merevisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) periode semester I.
Bambang menyebut, dalam melakukan perubahan tersebut pihaknya akan lebih dulu mempertimbangkan faktor pergerakan harga batubara. "Kita di RKAB sekarang menetapkan 550 juta ton. Walaupun nanti semester I kemungkinan akan dilakukan revisi apabila harga menjadi baik, untuk bisa meningkatkan produksi," kata Bambang dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (11/2).
Kontan.co.id juga mencatat, setidaknya dalam dua tahun terakhir ini, realisasi produksi batubara nasional selalu meroket dari target. Pada tahun 2018, misalnya, saat itu target di RKAB ditetapkan sebesar 485 juta ton. Tapi, realisasi produksi di tahun itu menanjak menjadi 557 juta ton.
Baca Juga: Dian Swastatika Sentosa (DSSA) menanti rampungnya proyek PLTU di tahun ini
Pada tahun 2019, target awal dalam RKAB dipatok di angka 489,12 juta ton. Namun, realisasi produksi hingga akhir tahun lalu menanjak hingga menjadi 616 juta ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News