Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa minggu yang lalu, aksi unjuk rasa peternak mandiri tidak lepas dari jebloknya harga ayam hidup (livebird) dan telur konsumsi di kisaran Rp 14.000 - Rp 17.000 per kilogram (kg) ditingkat peternak.
Sedangkan harga sarana produksi ternak (sapronak) seperti DOC FS ayam broiler cenderung tinggi di atas Rp 6.200 per kg di atas harga acuan Permendag No. 07/2020 yakni Rp 5.000 – Rp 6.000 per ekor.
Ketua Koperasi Peternak Milenial Jawa Barat, Nurul Ikhwan, mengatakan, selama ini, peternak dijepit oleh integrator dengan harga sapronak tinggi dan broker dengan harga livebird yang rendah di bawah harga acuan Permendag No.07/2020 yaitu Rp 19.000 – 21.000 per kilogram.
“Dominasi dan kontrol harga sekarang masih pihak integrator. Padahal dalam Permentan 32/2017 disebutkan tentang pembagian untuk budidaya DOC FS 50%:50% antara integrator dan peternak mandiri,” ujarnya dalam keterangannya, Rabu (3/11).
Baca Juga: Peternak desak presiden keluarkan Perpres soal perlindungan peternak mandiri
Menurutnya, seharusnya transparansi terkait kebijakan 50% tersebut harus terbuka datanya ke publik apakah betul itu diterapkan dengan sungguh-sungguh, faktanya harga DOC FS masih mahal. Ia menuding, pemerintah, dalam hal ini Ditjen PKH, Kementan, terkesan mengesampingkan dan tak patuhi aturan yang dibuat sendiri.
Padahal peternak rakyat mandiri yang ingin mandiri dalam hal bibit. Karena itu, kewajiban pemerintah melepas kuota impor GPS itu kepada semua peternak baik berbadan hukum koperasi maupun badan hukum lainnya sehingga tercipta persaingan secara sehat dan efisiensi pun tercapai di tingkat peternak rakyat.
Hal itu, kata Iwang, saat ini hanya belasan korporasi saja dan bahkan kelompok usaha tertentu saja yg mendapatkan kuota impor GPS, terus para peternak dihadapi oleh pembelian DOC FS yang diharuskan membeli atau disebut bundling dengan Pakan.
“Ini kan aneh, kok mereka importir GPS sudah dikasih karpet merah kuota malah tidak ada rasa tanggung jawabnya kepada rakyat,” cetusnya.
Baca Juga: Harga Ayam Bisa Turun Lagi Saat Penerapan PPKM Darurat
Pengamat Perunggasan, Syahrul Bosang mengatakan, pemerintah memberlakukan kuota impor GPS, tetapi kenapa pasokan DOC FS tetap berlebihan sehingga pemerintah melakukan kebijakan cutting di tingkat populasi ayam Parent Stock Broiler (PSB) dan aborsi di tingkat embryo Final Stock Broiler (FSB) pada usia inkubasi 19 hari.
Sehingga membuat bisnis ayam broiler ini berdampak pada kenaikan harga DOC FS. Artinya, terjadi diskresi Dirjen PKH pada import DOC GPS diketahui telah mendistorsi pasar pada DOC FS dan livebird.
Menurut Syahrul, seharusnya impor GPS dibebaskan saja sesuai dengan kemampuan porsinya masing-masing perusahaan. Supaya tidak terjadi cutting PS dan DOC FS secara Nasional tetapi setiap Importir GPS melakukan Self Assessment terhadap produksi DOC FS masing-masing sehingga berdampak pada stabilisasi harga DOC PS dan FS, bahkan harga nantinya dipastikan menjadi lebih murah sehingga pelaku bisnis di peternak rakyat maupun peternak mandiri dapat menumbuh kembangkan bisnisnya ke arah up stream yaitu GPS & PS.
Dengan kebijakan dibebaskan bersyarat maka Ditjen PKH mendidik para pelaku bisnis ini untuk bersaing dengan dirinya dengan jalan mengukur kemampuan dirinya baik dalam hal teknis maupun finansial dan kekuatan untuk diterima di pasar atas dasar kwalitas dan efisiensi sehingga dalam hal ini peternak dapat bebas memilih untuk mendapatkan DOC FS sesuai dengan harga dan kualitas pemasok. Karena masing-masing bibit atau induk ayam ini berbeda-beda, tergantung potensial genetik.
Baca Juga: Kemendag sebut biaya produksi industri perunggasan semakin tinggi, ini pemicunya
Ketua PATAKA, Ali Usman mempertanyakan mekanisme kebijakan pembagian DOC FS 50%. Ia mengatakan dasar pembagian dan cara kontrol kebijakan tersebut harus jelas. Mengingat harga DOC FS masih cukup tinggi di atas Permendag.
Ia bilang, jangan sampai dominasi DOC FS masih dikuasai oleh perusahaan tertentu, kemudian peternak selalu ditekan dengan harga DOC dan seakan dibuat langka karena pemerintah memberlakukan kebijakan cutting DOC PS dan FS dengan dalih pengendalian oversupply.
"Seharusnya kalau overstock, harganya lebih murah bukan sebaliknya. Padahal impor GPS dua tahun lalu masih kelebihan," ucap Ali.
Ia melanjutkan hal ini terbukti pada 2019 ada kelebihan impor GPS sebanyak 53.299 ekor yang berdampak banjirnya DOD FS pada 2021. Karena impor GPS tahun 2022 berdampak pada 2024 nanti, karena alur produksi ayam GPS membutuhkan 2 tahun untuk menghasilkan DOC PS dan produksi DOC FS.
Karena itu, kata Ali, impor GPS masih bersifat kuota untuk tahun 2022 mendatang. Pemerintah harus transparan dalam menentukan kuota impor GPS. Kebutuhan GPS harus sesuai dengan prognosa kebutuhan ayam tahun 2024 nanti.
Selanjutnya: Kinerjanya Charoen Pokphand (CPIN) membaik, ini rekomendasi analis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News