Reporter: Yudo Widiyanto | Editor: Test Test
JAKARTA. Ini kabar buruk buat para pengusaha. Pemerintah kembali memungut bea masuk (BM) atas impor produk-produk permesinan. Besaran tarif BM tersebut adalah 5% hingga 10%.
Langkah pemerintah ini tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 241/010/2010 yang terbit tanggal 22 Desember 2010 lalu. Dengan demikian, tarif impor produk permesinan yang semula 0% tidak berlaku lagi.
PMK ini mengatur bea masuk 2.164 produk-produk mesin dan bahan baku. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) paling merasakan dampak kenaikan BM tersebut. Pasalnya, industri ini lagi giat-giatnya mengimpor mesin, seiring bergulirnya program restrukturisasi permesinan di industri TPT.
Dengan kenaikan tarif BM itu, produsen TPT kini harus merogoh kocek lebih dalam untuk menebus mesin-mesin yang mereka impor. Mesin tekstil yang kini dikenakan BM, di antaranya mesin pengolahan serat tekstil, mesin tenun elektrik, mesin rajut dan lain lain. Mesin-mesin tersebut rata-rata dikenakan bea masuk sebesar 5%. "Terus terang kami kaget, kami tahu ada tarif ini ketika ditagih di lapangan," kata Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman, Senin (10/1).
Pemerintah juga mengenakan BM atas impor bahan baku TPT sebesar 5%. Beberapa bahan baku TPT yang dikenakan BM adalah etilen, bahan baku poliester.
Pengenaan tarif BM impor bahan baku tekstil ini berdampak serius terhadap industri.Pasalnya, ketergantungan industri TPT terhadap bahan impor cukup tinggi. Tahun lalu, impor bahan baku tekstil mencapai US$ 5 milliar. "Pengenaan bea masuk untuk bahan baku ini bisa merusak struktur harga dari hulu ke hilir," kata Ade.
Industri plastik juga dipusingkan atas terbitnya PMK tersebut. Sebab sama halnya dengan industri tekstil, pemerintah juga mengenakan tarif BM atas impor produk-produk permesinan di industri plastik. Besaran tarif BM yang dikenakan sebesar 5%.
"Penerapan bea masuk ini membuat kami sulit bernafas," kata Budi Susanto Sadiman, Wakil Ketua Asosiasi Industri Aromatik, Plastik dan Olefin Indonesia (INAplas).
Apalagi yang dikenakan BM bukan hanya permesinan. Tapi juga bahan baku plastik, seperti etilena dan propilena sebesar 5%.
Budi mengatakan, pengenaan tarif BM atas bahan baku plastik sudah berlaku sejak awal Januari ini. Kondisi ini, sangat menyulitkan para pelaku industri plastik, khususnya di sektor hilir. "Sekarang kami sedang melobi pemerintah agar segera menurunkan tarif tersebut," kata Budi.
Perlu diketahui, ketergantungan industri plastik terhadap bahan impor sangat tinggi. Tahun lalu, misalnya, impor bahan baku plastik mencapai 800.000 ton. Sementara tahun ini naik menjadi 1,2 juta ton.
Akan dievaluasi
Dirjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto berjanji akan memeperhatikan keluhan para pelaku industri. Menurutnya, saat ini Kemenperin sedang mengevaluasi sesuai tidaknya tarif BM itu berdasarkan kebutuhan industri hilir dan hulu.
Ia mengakui tarif BM yang dikenakan sekarang belum ideal. Sebab, pengenaan tarif itu tidak mempertimbang sektor hulu maupun hilir. Padahal idealnya, menurut Panggah, produk hilir dikenakan BM lebih besar ketimbang hulu. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan evaluasi yang dilakukan pihaknya akan berujung kepada tuntutan agar PMK direvisi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News