Reporter: Leni Wandira | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri musik nasional merupakan bisnis yang gurih. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Supratman Andi Agtas mengungkapkan, potensi ekonomi dari royalti musik di Indonesia bisa mencapai Rp 2,5 triliun hingga Rp 3 triliun per tahun.
Namun hingga kini, realisasi yang berhasil dikumpulkan baru sekitar Rp 200 miliar. "Kita kalah dengan Malaysia, yang penduduknya hanya 34 juta, tapi sudah mampu mengolek Rp 600 miliar,” kata Supratman, belum lama ini
Perbandingan tersebut, kata Supratman, menjadi alarm bagi pemerintah dan pelaku industri kreatif untuk membenahi sistem pengelolaan royalti nasional. Lemahnya tata kelola serta rendahnya kesadaran publik terhadap kewajiban royalti dinilai sebagai faktor utama minimnya penerimaan. “Kementerian Hukum juga punya tanggung jawab di sana. Karena itu kami berfokus memperbaiki tata kelolanya,” ujarnya.
Di Indonesia, royalti musik untuk pemutaran di ruang publik dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Bisnis seperti restoran, kafe, hotel, dan pusat perbelanjaan wajib membayar royalti untuk memutar musik secara komersial. LMK bertugas menarik dan mendistribusikan royalti kepada pencipta, pemilik hak terkait, dan musisi.
Namun dalam praktiknya, sistem ini masih menuai banyak keluhan: kurangnya transparansi data pemutaran, tumpang tindih kewenangan antar-LMK, minim edukasi bagi pelaku bisnis, hingga berbagai kasus royalti.
Baca Juga: PHRI: Banyak Hotel dan Restoran Pilih Hentikan Musik Gara-Gara Royalti
Kondisi ini menyebabkan hubungan antara pemilik usaha, musisi, dan pengelola royalti tidak selalu berjalan harmonis. Di sisi lain, itu sebabnya, jumlah pemasukan royalti musik kalah dari Malaysia.
Jerry Chen, Founder USEA Global menilai akar persoalan royalti justru berawal dari sistem yang tidak didesain untuk bisnis sebagai pembayar utama.
Menurut dia, sangat sulit memantau berapa kali sebuah lagu diputar jika tidak ada sistem yang jelas. Pertanyaan pokoknya: uang royalti itu sebenarnya berasal dari mana? Jawabannya—dari para pelaku bisnis komersial yang menggunakan musik.
Hendrick Halim, Presiden Direktur TOA Indonesia menyebut, banyak pelaku usaha sebenarnya mau patuh, tetapi tidak paham aturannya karena kurangnya sosialisasi.
Banyak yang tidak menyadari aturan LMK. Para pebisnis sebenarnya willingly buat bayar, tapi itu harus trustable dan kredibel. “Kalau punya musik sendiri, apakah harus bayar juga? Itu yang belum jelas,” kata Hendrick, awal pekan ini.
USEA mencatat beberapa klien di Indonesia menerima ancaman verbal dari pihak tertentu agar membayar royalti, tanpa dokumen resmi. Situasi ini semakin menggerus kepercayaan pelaku bisnis terhadap sistem royalti.
USEA merupakan platform manajemen musik terpusat berbasis cloud, penjadwalan otomatis, pelacakan pemutaran real-time, dan distribusi royalti.
Selanjutnya: Trump Akan Bertemu Wali Kota Terpilih New York Zohran Mamdani di Gedung Putih
Menarik Dibaca: Berapa Lama Obat Asam Urat Allopurinol Bekerja? Cek Jawabannya di Sini!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













