kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45892,24   -3,31   -0.37%
  • EMAS1.324.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Peneliti Indef: Penurunan BBM tak hanya perhatikan harga minyak mentah


Jumat, 20 Maret 2020 / 07:40 WIB
Peneliti Indef: Penurunan BBM tak hanya perhatikan harga minyak mentah
ILUSTRASI. Ilustrasi harga BBM


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) mengemuka sejalan dengan tren penurunan harga minyak mentah dunia yang kini bergerak di level US$ 20- US$ 30 per barel. Pemerintah pun tengah mengkaji dampak dari penurunan harga minyak terhadap perekonomian, juga terhadap potensi penyesuaian harga BBM.

Namun, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, penurunan harga BBM di tengah tekanan pandemi virus corona bukan lah hal yang sederhana. 

Peneliti Indef Abra P. G. Talattov mengatakan, harga minyak dunia yang turun signifikan memang menjadi momentum untuk menurunkan harga BBM. Apalagi, di tengah pandemi virus corona, penurunan harga BBM bisa menjadi stimulus langsung yang diterima masyarakat luas. 

Baca Juga: Harga BBM Pertamina bisa turun kalau harga minyak tetap rendah di akhir bulan ini

"Ini bisa mengkompensasi pengeluaran masyarakat, menjadi stimulus langsung yang bisa menjaga daya beli. Ditambah momentum penurunan harga minyak, ada semacam justifikasi pemerintah mempertimbangkan penurunan harga BBM," katanya kepada Kontan.co.id, Kamis (19/3).

Hanya saja, Abra mencatat ada sejumlah pertimbangan lain yang harus dicermati pemerintah. Antara lain, sebagai efek gulir virus corona, penurunan harga minyak dunia saat ini dibarengi dengan melemahnya kurs rupiah yang kini bergerak menuju Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS).

Kondisi ini tentu bakal menjadi pertimbangan penting bagi badan usaha penjual BBM maupun bagi pemerintah yang menghitung dampaknya secara ekonomi makro.

Di sisi lain, pemerintah juga pasti akan berhitung dari sisi potensi kehilangan penerimaan negara. Abra menerangkan, ancaman nyata jika harga minyak terus menurun ialah target penerimaan negara, baik pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor migas berpotensi kembali meleset dari target.

Abra memberikan gambaran, potensi penerimaan negara yang tidak tercapai, melalui simulasi sensitivitas APBN 2020 terhadap perubahan harga minyak mentah Indonesia (ICP). Dengan asumsi harga minyak menyentuh US$ 30 per barel, maka dampaknya terhadap potensi kehilangan penerimaan negara mencapai Rp 85 triliun hingga Rp 138 triliun.

"Itu juga harus menjadi pertimbangan pemerintah, terutama untuk BBM yang disubsidi," kata Abra.

Sementara untuk harga BBM non-subsidi, Abra berpandangan bahwa badan usaha penjual BBM pun akan mencermati perkembangan kondisi tersebut, baik dari sisi pergerakan harga minyak maupun kurs Rupiah. Apalagi, pemerintah juga sulit memaksa badan usaha untuk menurunkan harga, selama harga saat ini masih sesuai dengan rentang margin laba yang diatur dalam formulasi harga BBM.

Abra bilang, kondisi ini pun akan berdampak terhadap sentimen investasi di sektor migas, baik di hulu maupun di hilir. "Tidak bisa juga memaksa untuk menurunkan (harga BBM non-subsidi) terlalu jauh, karena justru nanti bisa jadi disinsentif di investasi migas," ujar Abra.

Baca Juga: Harga minyak dunia di bawah US$ 30 per barel, apa kabar harga BBM Shell dan BP-AKR?

Di tengah kondisi saat ini, Abra berpandangan bahwa harga BBM layak untuk diturunkan jika memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama, penurunan harga minyak mentah dunia bisa bertahan di periode yang cukup, yakni sekitar dua bulan sampai tiga bulan. 

"Selama kurang lebih satu bulan ini sudah anjlok sekitar 45%. Harga BBM layak turun jika kondisi harga minyak ini bertahan dua atau tiga bulan," sebut Abra.

Sebagai gambaran, dari sejumlah lembaga dan pakar energi global, dalam periode semester I-2020 harga minyak dunia sulit untuk kembali bergerak naik ke level US$ 40 per barel. Sebab, permintaan masih rendah, namun di sisi lain produsen minyak seperti Arab Saudi terus menggenjot produksi.

"Jadi kalau kami membaca itu, tampaknya di semester I harga bakal ada di level US$ 20-US$ 30 seperti sekarang. Sulit untuk rebound ke atas lagi di level US$ 40 per barel," ungkap Abra.

Namun, hal itu juga harus tetap memperhitungkan sensivitas terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. "Tapi tetap harus melihat kurs. Nilai tukar harus tetap terjaga di level asumsi makro di APBN," tandas Abra

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Accounting Mischief Practical Business Acumen

[X]
×