kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penerapan mandatori B20 harus tepat sasaran


Jumat, 07 Desember 2018 / 20:39 WIB
Penerapan mandatori B20 harus tepat sasaran
ILUSTRASI. Biodiesel B20, Solar B0, dan Fame


Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah mewajibkan penerapan campuran 20 persen Biodiesel (B-20) pada 1 September 2018. Industri tambang termasuk salah satu yang sudah melaksanakan kewajiban tersebut. Bahkan sejak ada kewajiban B-5 sampai B-10. 

Sampai sekarang, pelaku usaha di sektor pertambangan mineral dan batu bara mendukung penuh kebijakan pemerintah dalam perluasan kewajiban penggunaan B-20 di industri pertambangan.  Bahkan baik pemilik perusahaan maupun kontraktor tambang  yang juga perusahaan anggota asosiasi di sektor pertambangan, merupakan pelanggan terbesar PT Pertamina (Persero).

“Saat ini sektor pertambangan merupakan konsumen terbesar kedua setelah PT PLN dalam pembelanjaan solar industri dan biodiesel, sebesar kurang lebih 250.5 juta liter per bulan,” terang Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO), Bambang Tjahjono dalam siaran pers saat menjadi pembicara dalam diskusi Indonesia Mining Forum (FORUM) “Pemakaian B-20 di Industri Pertambangan: Masalah dan Solusi” yang digelar oleh ASPINDO dan Majalah TAMBANG, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (6/11).

Di sisi lain, bagi perusahaan kontraktor pertambangan, bahan bakar menyumbang 30 persen dari total biaya produksi. Oleh karenanya jaminan pasokan bahan bakar termasuk B-20 menjadi sangat penting.

“Pasokan bahan bakar yang tidak lancar dapat sangat mengganggu proses produksi. Hal ini pernah terjadi di beberapa site di daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara,” tandas Bambang.

Meski kemudian diketahui bahwa pasokan yang terganggu ini karena perusahaan penyalur, juga mengalami kesulitan pasokan FAME. Ke depan menjadi penting untuk diperhatikan aspek pasokan B-20, sehingga operasional tambang tidak terganggu.

Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah soal jaminan garansi. Selama ini beberapa produsen alat berat mencabut garansi, apabila pelaku usaha menggunakan bahan bakar diatas B- 7 pada alat beratnya. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan kontraktor alat berat.

Pelaku usaha juga menilai, meski sudah dilaksanakan selama kurang lebih empat bulan, namun masih sangat minim sosialisasi.

“Perlu adanya sosialisasi yang tepat sasaran untuk semua sektor dan juga umum, tentang bagaimana persiapan sebelum menggunakan dan pasca menggunakan B-20 pada alat berat, mesin dan juga kendaraan,” terang Bambang.

Sementara itu, Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE, Andriah Feby Misnah, mengatakan, untuk tahapan kewajiban mengacu Permen ESDM Nomor  12/2016 sudah menerapkan B-20 untuk PSO dan non PSO, juga industri dan komersial. Sementara untuk pembangkit listrik baru 20 persen

Tahapannya yaitu tahun 2015, dimulai tahapan kegiatan untuk implementasi B20 dan Rencana B30, bahwa sosialisasi dan road show B20 rute Sumatera-Jawa-Bali serta  peningkatan SNI B100 dan spesifikasi B20. Tahun 2016 implementasi B20 sebagai mandatori pencampuran B20 untuk sektor PSO melalui insentif BPDPKS, untuk sektor Non PSO, mandatori diberlakukan tanpa insentif.

Kemudian, pada tahun 2017, penyusunan pedoman handling biodiesel dan campurannya, penyusunan petunjuk teknis (Juknis) handling untuk industri tambang. Serta melakukan studi awal untuk B30, direkomendasikan untuk menyusun spek biodiesel untuk B30.

Tahun 2018, perluasan insentif biodiesel ke Non PSO per 1 September 2018, FGD dan sosialisasi pedoman umum dan juknis handling biodiesel serta pelaksanaan railtest KAI. Kemudian, Tahun 2019, road test dan peningkaktan SNI B100 untuk B30. Serta uji jalan B30 dengan jarak tempuh 60.000 km. Kemudian penerbitan SNI Biodiesel (Revisi SNI tahun 2015). Baru pada tahun 2020 implementasi B30

“Pada 1 September perluasan insentif yang selama ini untuk PSO, maka diperluas ke sektor non PSO , dengan harapan bisa meningkatkan pemanfaatan B20 dan bisa mengurangi impor solar. Karena semester lain neraca perdagangan energi kita negatif, sehingga perdagangan B20 ini bisa mengurangi defisit,” kata Feby.

Memang menurutnya, masih ada beberapa tantangan  seperti harga biodiesel yang lebih tinggi daripada harga solar, ketergantungan dengan harga CPO. Adanya keluhan dari OEM engine bahwa B20 tidak kompatibel dengan spesifikasi  engine mereka. Serta adanya keluhan tingginya biaya OM jika menggunakan B20.

“Terkait harga sekarang bisa diselesaikan dengan BPDPKS tapi ke depan perlu diuoayakan penerapan karbon tax dalam pemberian insentif ini. Kita juga bekerja sama dengan instasni pemerintahan lain dalam menetapokan harga agar tidak fluktuatif. Kalau terkait keluhan engine, kita akan lakukan pengujian bersama juga dengan sektor tambang. Mungkin sudah ada yang melakukan pengetesan tapi kita perlu melihat bersama pengujian ini,” tutur Feby.

Pada sisi lain, External Communication Manager Pertamina, Arya Dwi Paramita, secara konsisten telah melaksanakan penerapan biosolar yang diawali dengan komposisi 2,5 persen FAME (B2,5) pada  tahun 2006 hingga B20 pada 2018.

Dalam periode tahun 2010 hingga 2018, penyerapan FAME sebagai campuran Biosolar telah mencapai 11.9 juta KL. Dengan implementasi ini, Pertamina telah berhasil menurunkan impor gasoil dan meningkatkan penggunaan produk domestik (CPO).

Dari sisi infrastruktur saat ini Pertamina telah menyiapkan 112 Terminal BBM untuk bisa menyalurkan Biosolar B20. Penerapan penyaluran ini dilakukan bertahap yakni pada awal September 2018 terdapat sebanyak 60 TBBM yang menyalurkan B20, terus meningkat menjadi 108 TBBM pada November 2018.

Guna menjawab salah satu tantangan distribusi FAME, Pertamina telah melakukan penyederhanaan melalui rekonfigurasi titik suplai FAME yang sebelumnya sebanyak 69 titik pencampuran Solar dan Fame menjadi 25 titik pencampuran utama.

Dengan terobosan ini diharapkan dapat mengurangi kompleksitas pola suplai dan meningkatkan penyerapan FAME. Dengan mengoperasikan 25 titik pencampuran utama ini maka penyerapan FAME bisa mencapai 442 juta liter per bulan.

“Selain itu, terobosan lainnya dilakukan melalui pengelolaan operasional floating storage di Balikpapan dan TBBM Tuban,” kata Arya.

Selain itu menurutnya, Pertamina juga memproduksikan pelumas Meditran SX Bio yang dirancang khusus untuk mesin kendaraan yang menggunakan Biosolar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×