Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mempromosikan kebijakan Energi Berkeadilan yang menerjemahkan Program Nawacita dari Presiden Joko Widodo. Tujuannya, untuk mengupayakan ketersediaan (available) dan keterjangkauan harga (affordable) energi secara adil dan merata, salah satunya dengan program 100% rasio elektrifikasi.
Hingga akhir tahun 2018, rasio elektrifikasi mencapai 98,3%, lebih tinggi daripada target yang sebesar 95,15%. Sementara pada tahun 2019 ini diharapkan rasio elektrifikasi akan mencapai 99,9%. Adapun, pencapaian rasio elektrifikasi ini ditujukan untuk menyediakan listrik bagi rumah tangga, bisnis dan industri, serta lampu penerangan jalan di seluruh wilayah Indonesia.
Untuk menerangi di daerah-daerah terpencil, yang tidak ada jaringan distribusi listrik, digunakan panel tenaga surya dengan memasang 4 lampu di setiap rumah penduduk. Sedangkan untuk menerangi jalan-jalan umum digunakan penerangan jalan umum tenaga surya (PJU-TS).
PJU-TS sendiri merupakan lampu penerangan jalan yang menggunakan cahaya matahari sebagai sumber energi listriknya. Menurut Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, PJU-TS bisa menjadi solusi untuk digunakan di jalan-jalan pada daerah yang belum terjangkau aliran listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), juga pada daerah-daerah yang sudah terlistriki PLN, namun ingin mengurangi konsumsi listrik daerahnya.
"Penggunaan PJU-TS ini merupakan solusi yang tepat, lantaran tidak hanya menggunakan tenaga surya yang ramah lingkungan, tetapi juga memberikan kontribusi dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT)," kata Fahmy dalam keterangan tertulisnya, Senin (4/2).
Ia menilai, PJU-TS merupakan alternatif lampu penerangan jalan yang memiliki beberapa kelebihan. Pertama, biaya energi PJU-TS lebih murah dibandingkan PJU-PLN, lantaran menggunakan sumber energi surya yang relatif tidak terbatas dan didapatkan secara gratis
PJU-TS menggunakan komponen panel surya dengan lifetime hingga 25 tahun, yang berfungsi menerima sinar matahari untuk diubah menjadi listrik melalui photovoltaic process. "Sedangkan PJU-PLN menggunakan energi fosil, yang harga energinya lebih mahal," ujar Fahmy.
Kedua, pengunaan PJU-TS lebih praktis dan efisien, serta tidak tergantung dengan jaringan PLN. Sehingga PJU-TS tidak mengalami pemadaman pada saat terjadi pemadaman listrik PLN akibat terjadi gangguan.
"Lampu PJU-TS dapat dipasang di mana saja, yang secara otomatis dapat mulai menyala pada sore hari dan padam pada pagi hari dengan perawatan yang mudah dan efisien selama bertahun tahun" imbuhnya.
Ketiga, dari sisi lingkungan, PJU-TS yang menggunakan energi EBT bersifat ramah lingkungan dan bebas polusi. "PJU-TS tidak memberikan kontribusi perubahan iklim lantaran system listrik tenaga surya tidak memancarkan gas rumah kaca yang berbahaya dan tidak menyebabkan polusi suara yang berisik" terangnya.
Hanya saja, lanjut Fahmy, PJU-TS pun memiliki sejumlah kekurangan. Antara lain, pertama, sangat tergantung cuaca. Pada saat cuaca mendung dan hujan, kemampuan panel surya menangkap sinar matahari akan berkurang, sehingga tidak optimal dalam mengkonversi energi surya menjadi listrik.
"Namun, untuk sebagian besar wilayah Indonesia, masalah ini tidak berpengaruh signifikan, kecuali beberapa daerah yang memancarkan radiasi sangat kecil akibat curah hujan tinggi, seperti di wilayah Bogor" ungkapnya.
Kedua, biaya investasi awal PJU-TS relatif mahal, bahkan lebih mahal ketimbang biaya investasi PJU-PLN. Hal ini lantaran komponen yang digunakan dalam sistim tenaga surya sebagian besar masih harus diimpor dengan harga mahal.
Jika dibandingkan dengan PJU-PLN, investasi awal PJU-TS memang lebih mahal. "Namun harga energi surya yang digunakan jauh lebih murah dibanding energi fosil yang digunakan PJU PLN, disamping biaya perawatan juga lebih murah," jelas Fahmy.
Sehingga, untuk meminimkan biaya investasi PJU-TS, Fahmy menilai bahwa idealnya semua komponen panel yang dibutuhkan dapat diproduksi dalam negeri dengan skala kapasitas optimal. Terlebih, peningkatakan penggunaan PJU-TS dalam jumlah besar di seluruh wilayah Indonesia, baik untuk pemasangan baru maupun menggatikan PJU-PLN, dapat mendorong tumbuhnya industri komponen panel surya di Indonesia, yang dibutuhkan sistim listrik tenaga surya.
"Tumbuh kembangnya industri komponen panel tenaga surya di dalam negeri juga memberikan multiplier effect terhadap pembukaan lapangan pekerjaan baru dan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia," tandas Fahmy.
Asal tahu saja, pembangunan PJU-TS ini mengacu Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan Energi Baru Dan Energi Terbarukan Serta Konservasi Energi. Pelaksanaan pembangunan infrastruktur ini merupakan upaya.
Selama hampir lima tahun terakhir ini, pemasangan PJU-TS di berbagai daerah mengalami peningkatan.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, sebanyak 670 unit PJU-TS telah dipasang di lima kabupaten pada 2015, meningkat menjadi 5.015 PJU-TS di 67 kabupaten dan 7.462 PJU retrofit di 48 kabupaten pada 2016. Sementara pada tahun 2017, dipasang sebanyak 924 PJU retrofit di enam kabupaten, dan pada tahun 2018 total PJU-TS yang sudah terpasang mencapai 35.935 unit di 172 kabupaten dan kota, mulai dari Kota Banda Aceh hingga kabupaten Merauke.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News