kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pengamat: Kebijakan Kelistrikan Perlu Diubah untuk Dorong Pembangkit EBT


Selasa, 24 Mei 2022 / 12:25 WIB
Pengamat: Kebijakan Kelistrikan Perlu Diubah untuk Dorong Pembangkit EBT
ILUSTRASI. Pengendara melintas di area Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan,


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto

Sampai saat ini, Indonesia masih bertumpu pada pembangkit berbasis fosil, terutama PLTU yang berbahan bakar batu bara, untuk menjadi pembangkit beban puncak (base-load).

Pembangkit jenis ini diperlukan untuk menjamin tersedianya pasokan listrik dalam jumlah besar dan kontinyu. Dari berbagai jenis pembangkit EBT, pembangkit panas bumi menjadi salah satu yang bisa menggantikan peran PLTU sebagai pembangkit base-load.

Menurut data Kementerian ESDM, potensi panas bumi di Indonesia cukup melimpah, yakni sebesar 29.544 MW, sementara yang sudah beroperasi baru 2.276,9 MW atau 7,7 persen.

Selain potensinya yang besar, kata Komaidi, pembangkit panas bumi juga memiliki Capacity Factor (CF) sampai 90 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan pembangkit EBT lain seperti pembangkit surya (PLTS) sekitar 18% dan pembangkit bayu (PLTB) sekitar 30%.

Persoalannya, kata Komaidi, harga jual listrik panas bumi masih mahal dan masa pembangunannya lama, yakni 7-10 tahun. Harga jual listrik panas bumi saat ini masih sekitar Rp 1.191 per kWh, sementara harga jual listrik batu bara hanya Rp 653,3 per kWh.

Baca Juga: Ekonomi RI Kuat, Menko Airlangga: Momen Emas untuk Berinvestasi di Indonesia

“Kondisi ini membuat kepentingan jangka pendek yang lebih mengemuka. Pemerintah tidak mudah menaikkan tarif listrik tapi juga tidak bisa membiarkan subsidi listrik di APBN membengkak.” imbuhnya.

Pada 2022, subsidi listrik dalam APBN ditargetkan Rp 56,5 triliun, tapi membengkak karena kenaikan harga minyak mentah. Badan Anggaran DPR RI sudah menyetujui penambahan subsidi listrik sebesar Rp 3,1 triliun.

Menurut Komaidi, kepentingan jangka pendek seperti itulah yang membuat pembangunan EBT tersendat-sendat, terutama pembangkit panas bumi. Hal ini terjadi karena PT PLN memegang monopsoni (pembeli tunggal).

“PLN tentu saja akan memilih PLTU karena harganya yang murah, sehingga BPP (biaya pokok penyediaan listrik) bisa lebih rendah. Kalau dengan panas bumi, siapa yang akan menutup selisihnya agar BPP PLN tetap affordable?” katanya.

Apalagi, saat ini terjadi kelebihan pasokan listrik akibat penurunan ekonomi selama pandemi Covid-19. Komaidi menjelaskan, dengan posisi seperti itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang memihak pada pengembangan EBT.

Salah satu langkah yang sudah tepat, menurut Komaidi, adalah kebijakan pengeboran eksplorasi oleh pemerintah (government drilling) karena akan mengurangi risiko pengembang yang sangat tinggi di masa-masa awal pembangunan pembangkit panas bumi.



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×