kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.326.000 1,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat: Kebutuhan teknologi jadi faktor harga listrik PLTSa mahal


Kamis, 24 Juni 2021 / 18:00 WIB
Pengamat: Kebutuhan teknologi jadi faktor harga listrik PLTSa mahal


Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 menerapkan harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebesar US$ 13,35 sen per kWh.

Merujuk beleid tersebut, Pasal 11 ayat 1 huruf (a) berbunyi untuk besaran kapasitas sampai dengan 20 MW yang terinterkoneksi pada jaringan tegangan tinggi, jaringan tegangan menengah, atau jaringan tegangan rendah.

Selanjutnya, huruf (b) berbunyi untuk besaran kapasitas lebih dari 20 MW yang terinterkoneksi pada jaringan tegangan tinggi atau jaringan tegangan menengah dengan perhitungan sebagai berikut: Harga pembelian (US$ cent/kWh)= 14,54 - (0,076 x besaran kapasitas PLTSa yang dijual ke PT PLN). 

Adapun, harga pembelian itu merupakan harga yang digunakan dalam perjanjian jual beli tenaga listrik tanpa negosiasi dan tanpa eskalasi harga serta berlaku pada saat PLTSa dinyatakan telah mencapai tahap Commercial Operation Date (COD) sesuai dengan jadwal yang telah disepakati dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.

Baca Juga: PLTS bakal jadi andalan, kesiapan industri pemasok mulai disorot

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan tingginya harga jual listrik ini dikarenakan mahalnya biaya pengolahan sampah. Selain itu juga dibutuhkan teknologi berbiaya tinggi untuk pengolahan sampah menjadi energi listrik.

Fabby mencontohkan untuk teknologi incinerator secara rata-rata membutuhkan biaya US$ 4.000 hingga US$ 8.000 per kw listrik yang dihasilkan.

Demi menekan harga dan mendorong proyek, Fabby menilai cukup banyak subsidi yang diberikan salah satunya tipping fee.

"Oleh pemerintah diberikan subsidi tipping fee akan beri Rp 500.000 per ton," jelas Fabby kepada Kontan.co.id, Kamis (24/6).

Dia menambahkan, ketentuan tipping fee ini juga membebani pemerintah daerah karena keterbatasan anggaran yang ada.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kajiannya menyebutkan  untuk DKI Jakarta besaran tipping fee yang harus ditanggung mencapai Rp 470,52 miliar per tahun dengan total pengolahan sampah mencapai 2.200 ton per hari. 

Sementara itu, Jawa Barat harus menanggung tipping fee mencapai Rp 316,87 miliar per tahun untuk volume sampah mencapai 1.820 ton per hari. Adapun, Pemda Semarang harus menanggung tipping fee sebesar Rp 259,51 miliar untuk 900 ton sampah per hari.

Sejumlah daerah lain juga diharuskan menanggung tipping fee setiap tahun yang besarannya beragam dengan kisaran Rp 130 miliar per hingga Rp 150 miliar dengan volume sampah beragam.

Fabby mengungkapkan, sumber pendapatan bagi investor selain tipping fee yakni dari penjualan listrik. Dengan total kapasitas 15 proyek pada 12 daerah sekitar 200an MW, maka jumlah tersebut dinilai tidak terlalu besar.

Baca Juga: Ini progres 15 proyek PLTSa yang bakal masuk RUPTL 2021-2030

"Jadi gak terlalu besar (kapasitas) sehingga buat PLN mungkin mikir-mikir juga buat beli dengan harga segitu," imbuh Fabby.

Untuk itu, dia menilai pemerintah juga perlu mempertimbangkan PLN. Nantinya, dengan masuknya seluruh pembangkit PLTSa yang ada maka dapat dihitung seberapa besar kenaikan biaya operasi pembangkit oleh PLN.

"Selisih ata tambahan biaya yang timbul dari masuknya PLTSa nantinya dapat dihitung apakah diberikan kompensasi apa subsidi," pungkas Fabby.

Selanjutnya: Vale Indonesia (INCO) teken kerjasama proyek fasilitas pengolahan nikel Bahodopi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×