kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat Telko: Merger Indosat dan Tri punya parameter baru


Selasa, 12 Januari 2021 / 19:11 WIB
Pengamat Telko: Merger Indosat dan Tri punya parameter baru
ILUSTRASI. Pelanggan berkomunikasi melalui telepon. TRIBUNNEWS/HO


Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat telekomunikasi Heru Sutadi menilai jika PT Indosat Tbk (ISAT) dan Tri Indonesia berpotensi tidak wajib mengembalikan frekuensi jika merger keduanya berhasil dilakukan.

Hal ini dikarenakan, Undang-Undang Cipta Kerja akan bergerak sebagai parameter yang membuka kemungkinan adanya pengalihan frekuensi ke operator lain.

"Dengan adanya UU Cipta Kerja maka dimungkinkan perusahaan menggunakan frekuensi bersama. Ini artinya bahwa bisa saja frekuensi tidak dikembalikan tapi memang ada evaluasi dan perlu mendapat persetujuan alias restu dari Menkominfo," jelas Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi kepada Kontan, Selasa (12/1).

Sebagai informasi, berdasarkan aturan sebelumnya, yakni Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 Telekomunikasi mengamanatkan, frekuensi adalah milik negara.

Dengan demikian, jika satu operator berhenti misalnya karena adanya akuisisi, maka frekuensi tersebut arus dikembalikan ke pemerintah. Itu sebabnya merger akuisisi belum terjadi karena si pembeli mencaplok perusahaan operator tanpa frekuensinya alias kosong. Heru melanjutkan sebelum ada kebijakan UU Cipta Kerja, semua akan tergantung suka atau tidaknya (like or dislike) Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo).

Baca Juga: Ada potensi mengembalikan frekuensi pasca merger, berikut tanggapan Tri dan Kominfo

Tapi sekarang ada parameter yang dinilai dan dibuka kemungkin untuj pengalihan frekuensi ke operator lain. "Ini kan UU Cipta Kerja yang menurut saya akan jadi acuan ketika Menkominfo memutuskan go or not go konsolidasi yang dilakukan Tri Indonesia," sambungnya.

Heru juga menilai, jika frekuensi dikembalikan ke negara, maka akan membuat industri tidak jelas, kapan dikembalikan dan kapan tidak. Ia mengatakn, dahulu pun tidak ada pengembalian. Contohnya adalah ketika Indosat (ISAT) membeli Satelindo. Pengambilan frekuensi baru terjadi pada 2013, atau tepatnya diambil 10 MHz baru terjadi saat XL Axiata membeli Axis Telecom.

Ia berkata, pengembalian yang terjadi pada XL dan Axis dampaknya pun sangat buruk, sebab tidak ada lagi operator yang mau konsolidasi. "Jadi dampaknya buruk, padahal pemerintah mendorong konsolidasi agar industri menjadi kian sehat karena idealnya hanya ada 3 operator seluler saja," tutup dia.

Selanjutnya: Indosat (ISAT) buka alokasi capex 2021 setelah sampaikan laporan keuangan 2020

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×