Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) yang mulai dibahas oleh DPR RI bukan tanpa masalah. Pihak Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pun menilai ada kejanggalan terkait pemanfaatan nuklir yang tercantum dalam beleid tersebut.
Bob S. Effendi, Kepala Perwakilan Thorcon International Pte Ltd. mengatakan, keberadaan RUU EBT membuat pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menempatkan nuklir sebagai opsi terakhir pengembangan energi nasional tak lagi relevan.
“Selanjutnya nuklir diakui sebagai energi yang bersih dan ramah lingkungan. Walau hal itu fakta, tetapi banyak yang tidak mengakui,” ungkapnya dalam pernyataan tertulis yang diterima Kontan, Jumat (18/9).
Dia juga menilai, ada sesuatu yang mengkhawatirkan bagi badan usaha swasta yang berminat melakukan investasi di sektor PLTN, yakni berupa kemunculan pasal 7 ayat 3 di dalam draf RUU EBT per tanggal 10 September 2020.
Dalam hal ini, pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning PLTN dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK). Padahal, menurut Bob, ketentuan tersebut tidak ada di dalam draf RUU EBT bulan Juli 2020 lalu.
Di sisi lain, dalam pasal 7 ayat 4 disebut bahwa pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning pembangkit panas nuklir dilaksanakan oleh BUMN, koperasi, dan/atau badan swasta.
Hal ini dianggap tidak masuk akal lantaran pihak swasta hanya bisa membangun pembangkit panas bumi, sedangkan PLTN justru dimonopoli oleh BUMNK. “Jelas ini adalah pasal selundupan,” kata Bob.
Baca Juga: Karpet merah pengembangan pembangkit nuklir dalam RUU EBT
Dia melanjutkan, ketentuan tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran yang notabene membuka peluang bagi siapa saja, baik itu BUMN, pihak swasta, maupun koperasi untuk membangun PLTN.
Bob juga merasa, pasal 7 ayat 3 RUU EBT seolah-olah menyatakan bahwa pembangunan PLTN akan dibiayai oleh APBN melalui BUMNK. Hal ini dianggap tidak realistis karena tidak adanya anggaran pembangunan PLTN di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2025.
Lagi pula, saat ini bukan lagi zamannya monopoli sehingga sangat bertentangan dengan keinginan pemerintah yang sebenarnya hendak membuka keran investasi bagi banyak pihak. “Sektor lain terbuka, masa sektor nuklir malah tertutup. Hal ini tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah sendiri,” tandas Bob.
Sebagaimana diketahui, pasal 7 RUU EBT memiliki beberapa ayat yang membahas tentang pemanfaatan nuklir di Indonesia. Di ayat 1 tertulis, nuklir sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) dimanfaatkan untuk pembangunan pembangkit daya nuklir.
Ayat 2, pembangkit daya nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari pembangkit listrik tenaga nuklir dan pembangkit panas nuklir. Ayat 3, pembangunan, pengoperasioan, dan dekomisioning pembangkit tenaga nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara khusus.
Ayat 4, pembangunan, pengoperasioan, dan dekomisioning pembangkit panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, koperasi, dan/atau badan swasta.
Ayat 5, pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pemerintah pusat setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Adapun ayat 6, ketentuan lebih lanjut mengenai badan usaha milik negara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya: METI dan MKI meminta pembentukan badan khusus pengelola energi terbarukan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News