Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi VII DPR RI mulai membahas secara intensif Rancangan Undang-Undangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Komisi VII pun menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU bersama Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) dan Koalisi Perempuan Indonesia, pada Kamis (17/9).
Ada sejumlah catatan dan masukan yang diberikan ketiga lembaga tersebut. Satu diantaranya ialah usulan untuk membentuk suatu badan pelaksana khusus yang mengelola energi terbarukan di Indonesia.
Ketua METI Surya Dharma terlebih dulu memaparkan bahwa undang-udang tentang energi terbarukan mendesak untuk diterbitkan. Pasalnya, pengembangan energi bersih di Indonesia saat ini menemui banyak hambatan. Masalah utamanya antara lain karena hingga saat ini Indonesia belum memiliki payung hukum yang tegas dan secara khusus mengatur energi terbarukan.
Imbasnya, kepastian hukum dan investasi sering terganggu oleh regulasi yang berubah-ubah. Alhasil, pemanfaatan EBT dalam bauran energi nasional hingga kini masih mini, yakni sekitar 9% secara keseluruhan dan sekitar 14% khusus di sektor kelistrikan. Padahal, kebijakan energi nasional menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 23% pada tahun 2025.
Menurut Surya, salah satu sebab masih mininya capaian bauran energi terbarukan ialah kerena harga EBT masih mahal, hal itu sebagai akibat dari belum adanya kesungguhan pemerintah dalam memberikan kebijakan harga yang kompetitif bagi EBT.
"Juga tidak adanya ketetapan standar harga energi terbarukan dan tidak adanya level of playing field. Juga kevakuman peraturan perundangan untuk energi terbarukan," papar Surya dalam RDPU yang digelar Kamis (17/9).
Baca Juga: Ini strategi yang disiapkan pemerintah dalam pengembangan PLTS
Selain itu, persoalan lainnya adalah mekanisme yang dianggap tidak bankable sehingga tidak menarik bank nasional untuk mendanai proyak EBT. Padahal, imbuh Surya, pendanaan untuk pengembangan energi bersih sejatinya melimpah, namun belum bisa dioptimalkan oleh Indonesia.
"Sekarang kan banyak sekali, dana-dana ET itu nggak bisa kita manfaatkan. Karena mekanismenya banyak sekali faktor-faktor yang tidak relevan dengan itu," sebutnya.
Oleh sebab itu, METI meminta adanya pembentukan semacam Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPET) yang kelak diatur dalam UU EBT tersebut. "Perlu adanya badan khusus pengelola energi terbarukan, seabgai badan yang bertanggung jawab memiliki otoritas yang jelas dalam mengelola dan memiliki kewenangan pengelolaan dana," sambung Surya.
Guna mengoptimalkan keefektivitasannya, Surya menyarankan pembentukan BPET ini bisa dengan meleburkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). "Kita optimalkan dengan tugas tugas yang lebih detail dalam UU (EBT) ini," katanya.