Reporter: Dimas Andi | Editor: Noverius Laoli
Fabby menilai, regulasi saat ini seperti Permen ESDM No 50/2017 belum mendukung pengembangan EBT yang pasarnya masih tergolong baru. “Tarif EBT yang diatur dalam regulasi sekarang juga tidak sesuai dengan keekonomian proyek,” tambahnya.
Padahal, tarif EBT menurut Fabby sejatinya bisa bersaing dengan tarif tenaga listrik konvensional. Ia mencontohkan pada lelang PLTS Bali Barat dan Bali Timur yang dapat menghasilkan harga listrik sekitar US$ 0,06 per KWh. Harga ini setara dari tarif listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan lebih murah dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU).
Baca Juga: Harga batubara acuan (HBA) Desember 2019 tercatat sebesar US$ 66,3 per ton
Lebih lanjut, dalam survei IESR, tercatat bahwa capital expenditure (capex) PLTS di Indonesia berkisar US$ 700—US$ 1.200 per KWh. Sedangkan capex Pembangkit Listrik Tenaga Bayu atau Angin (PLTB) ada di kisaran US$ 1.200—1.500 per KWh. Adapun capex untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTB) sekitar US$ 2.500—US$ 4.000 per KWh.
Jika dibandingkan, capex untuk PLTU berada di level US$ 900—US$ 2.000. Jumlah capex yang disebutkan beberapa kali tadi bergantung pada teknologi yang digunakan.
“Meski capex pembangkit EBT lebih tinggi dari PLTU, tapi biaya pengeluaran operasional EBT sangat rendah karena tidak ada biaya bahan bakar,” ungkap dia.
Baca Juga: Pemerintah Gandeng Denmark untuk kembangkan EBT di 4 Provinsi
Lantas, Fabby berharap adanya komitmen politik dari pemerintah dalam mempercepat perbaikan regulasi. Hal ini agar tak ada lagi proyek-proyek EBT yang kesulitan mendapat pendanaan yang kemudian membuat sejumlah investor mundur dan keluar dari Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News