kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pengembangan energi terbarukan (EBT) di Indonesia masih terhambat, ini penyebabnya


Rabu, 18 Desember 2019 / 17:02 WIB
Pengembangan energi terbarukan (EBT) di Indonesia masih terhambat, ini penyebabnya
ILUSTRASI. Turbin kincir angin pembangkit tenaga listrik terlihat di ladang angin lepas pantai Eneco Luchterduinen dekat Amsterdam, Belanda 26 September 2017.


Reporter: Dimas Andi | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan kapasitas energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia masih cenderung rendah. Institute for Essential Service Reform (IESR) mencatat, sepanjang tahun ini tambahan kapasitas EBT di Indonesia hanya 385 megawatt (MW).

Jumlah tersebut masih jauh dari target kapasitas EBT dari pemerintah berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 45 gigawatt (GW) pada 2025 nanti.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, salah satu penghambat percepatan EBT adalah tingkat bankability atau kekuatan finansial dari proyek EBT itu sendiri. 

Baca Juga: PLTA Air Putih beroperasi, Kencana Energi (KEEN) bidik US$ 20 juta dari PLN

Fabby mencatat, sejak berlakunya Peraturan Menteri ESDM No. 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, hampir tidak ada proyek EBT yang baru.

Dari 75 proyek EBT yang sudah dilakukan power purchasing agreements (PPA) di periode 2017-2018, sebagian besar di antaranya adalah proyek yang sudah disiapkan sebelum 2017. “Itu pun ada 27 proyek yang belum mendapat financial close karena kendala bankability,” kata dia, Rabu (18/12).

Proses pengadaan proyek EBT pun terbilang lambat. Hal ini terbukti karena lelang proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) baru dilakukan di awal tahun ini. Namun, lelang tersebut baru untuk proyek PLTS Bali Barat dan Bali Timur. 

Baca Juga: Darmawan Prasodjo disebut-sebut bakal jadi wakil dirut PLN, dampingi Rudiantara

Fabby juga menyoroti skema insentif bagi proyek EBT yang kurang kompetitif ditambah tahun ini juga merupakan masa transisi pemerintahan karena adanya pemilu. Alhasil, capaian investasi EBT baru mencapai US$ 1,17 juta per September lalu atau 65% dari target investasi EBT di tahun ini sebesar US$ 1,8 juta.

Secara umum, untuk mencapai target bauran EBT dalam RUEN 2025, diperlukan investasi sebanyak US$ 70—US$ 90 miliar. Artinya, capaian nilai investasi sepanjang tahun ini masih jauh dari target.

Fabby menilai, regulasi saat ini seperti Permen ESDM No 50/2017 belum mendukung pengembangan EBT yang pasarnya masih tergolong baru. “Tarif EBT yang diatur dalam regulasi sekarang juga tidak sesuai dengan keekonomian proyek,” tambahnya.

Padahal, tarif EBT menurut Fabby sejatinya bisa bersaing dengan tarif tenaga listrik konvensional. Ia mencontohkan pada lelang PLTS Bali Barat dan Bali Timur yang dapat menghasilkan harga listrik sekitar US$ 0,06 per KWh. Harga ini setara dari tarif listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan lebih murah dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU).

Baca Juga: Harga batubara acuan (HBA) Desember 2019 tercatat sebesar US$ 66,3 per ton

Lebih lanjut, dalam survei IESR, tercatat bahwa capital expenditure (capex) PLTS di Indonesia berkisar US$ 700—US$ 1.200 per KWh. Sedangkan capex Pembangkit Listrik Tenaga Bayu atau Angin (PLTB) ada di kisaran US$ 1.200—1.500 per KWh. Adapun capex untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTB) sekitar US$ 2.500—US$ 4.000 per KWh.

Jika dibandingkan, capex untuk PLTU berada di level US$ 900—US$ 2.000. Jumlah capex yang disebutkan beberapa kali tadi bergantung pada teknologi yang digunakan.

“Meski capex pembangkit EBT lebih tinggi dari PLTU, tapi biaya pengeluaran operasional EBT sangat rendah karena tidak ada biaya bahan bakar,” ungkap dia.

Baca Juga: Pemerintah Gandeng Denmark untuk kembangkan EBT di 4 Provinsi

Lantas, Fabby berharap adanya komitmen politik dari pemerintah dalam mempercepat perbaikan regulasi. Hal ini agar tak ada lagi proyek-proyek EBT yang kesulitan mendapat pendanaan yang kemudian membuat sejumlah investor mundur dan keluar dari Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×