Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dinilai menjadi suatu keniscayaan di tengah adanya fakta bahwa sumber energi fosil yang kerap dipakai masyarakat saat ini akan habis suatu saat nanti.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menyampaikan, selama masa pandemi corona, permintaan terhadap minyak mentah menurun drastis. Organisasi Negara Produsen Minyak (OPEC) beserta sekutunya pun mengurangi produksi demi menyelamatkan harga minyak mentah global.
Kondisi ini sejatinya bisa menjadi momentum yang tepat bagi Indonesia untuk menggenjot lagi pemanfaatan EBT. Usaha tersebut bukan hanya untuk mencari sumber energi alternatif, melainkan juga untuk perbaikan kualitas lingkungan hidup.
Baca Juga: Pertamina seimbangkan pengembangan ekosistem energi fosil dan terbarukan
“Aktivitas industri migas baik di hulu maupun hilir suka tidak suka mempengaruhi ekosistem di tempat-tempat tertentu,” kata dia, Sabtu lalu (6/6).
Hanya saja, pengembangan EBT jelas bukan sesuatu yang mudah dilakukan, apalagi dalam kondisi pandemi seperti sekarang. Tanpa ada corona, investasi di sektor EBT acapkali terkendala oleh beberapa hal, salah satunya harga keekonomian yang masih lebih mahal dibandingkan energi fosil.
Meski begitu, kendala tersebut tidak bisa menjadi alasan bagi pemerintah untuk mengurangi kebijakan-kebijakan pengembangan EBT di tanah air. Ini mengingat EBT merupakan proyek jangka panjang yang kelak memegang peranan penting tatkala sumber-sumber energi berbasis fosil sudah habis.
“Pemerintah mesti memfasilitasi investor di sektor EBT dengan berbagai insentif,” kata Fahmy.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebenarnya tengah menyusun Peraturan Presiden (Perpres) Feed in Tariff (FiT) EBT. Sebelumnya, sudah ada Peraturan Menteri ESDM No. 4 Tahun 2020 sebagai perubahan kedua dari Permen ESDM No. 5 Tahun 2017.
Baca Juga: ESDM pastikan fokus kembangkan EBT meski diterpa pandemi dan pelemahan harga minyak
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, sebenarnya Indonesia masih memiliki potensi yang besar dari sektor minyak dan gas bumi (migas).
Data dari SKK Migas menunjukkan, Indonesia saat ini memiliki 128 cekungan migas, namun baru 20 cekungan saja yang sudah masuk ke tahap produksi. Selain itu, hingga tahun 2019 Indonesia memiliki cadangan minyak sebanyak 3,8 Billion Barel Oil (BBO) dan 77 Trillion Cubic Feet (TCF).
Kendati demikian, potensi tersebut baru bisa dioptimalkan melalui kegiatan eksplorasi di sektor hulu migas. Sedangkan investasi di sektor tersebut saat ini cenderung sulit dilakukan seiring pandemi Corona. Iklim investasi migas Indonesia pun belum terlalu menarik di mata investor untuk sekarang ini.
Maka dari itu, pengembangan EBT tetap harus dilakukan oleh pemerintah. Menurut Fabby, potensi alternatif energi selain Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah Bahan Bakar Nabati (BBN).
Indonesia pun sudah mencoba mengembangkan bahan bakar berbasis minyak sawit setidaknya dalam lima tahun terakhir. Untuk tahun ini, sudah ada program B30 atau pencampuran 30% minyak sawit dengan produk solar yang dijalankan oleh pemerintah.
“Program minyak nabati bukan hanya soal potensi, tapi konsistensi pengembangannya juga diperlukan oleh pemerintah,” kata Fabby, Sabtu (6/6).
Namun, implementasi B30 pun ikut terganggu oleh wabah Corona. Dalam berita Kontan sebelumnya, realiasi penyaluran B30 hingga 26 Mei 2020 berada di level 3,352 juta kiloliter atau 34,95% dari target di tahun ini sebanyak 9,6 juta kiloliter.
Saat itu, Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Andriah Feby Misnah bilang, realisasi penyaluran B30 cenderung turun 15% dari kondisi normal ketika belum ada wabah Covid-19.
Fabby menilai, di tengah harga minyak mentah yang rendah, pemanfaatan biofuel memang menjadi kurang kompetitif.
Pemerintah pun harus memikirkan secara matang program-program strategis dan intervensi dalam pengembangan EBT pasca Covid-19. Hal ini dilakukan agar pemerintah tidak terbebani dengan program-programnya sendiri di sektor EBT.
Baca Juga: Pengamat: PLN seharusnya tidak batasi produksi listrik dari sumber EBT
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News