Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Lagu lama kembali diputar pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor tambang, yakni penerapan bea keluar ekspor batubara. Kali ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah berupaya memasukkan klausul tersebut dalam amandemen kontrak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B).
Alhasil, renegosiasi yang mestinya sudah mencapai titik akhir antara pemerintah dengan sembilan perusahaan PKP2B akhirnya kembali mental. Pengusaha menolak pungutan tambahan yang berpotensi meningkatkan biaya produksi, sekaligus menurunkan daya saing produknya di pasar ekspor.
Sudin, Corporate Secretary PT Golden Mines Energy Tbk, induk usaha PT Borneo Indobara mengatakan, renegosiasi kontrak dengan pemerintah sudah rampung sejak pertengahan Januari 2015. Bahkan, pihaknya telah menandatangani berita acara untuk meneken amandemen PKP2B anyar, sebagai kelanjutan tahapan dari proses memorandum of understanding (MoU) amandemen kontrak.
Belakangan, penandatangan kontrak anyar ditunda lagi lantaran adanya tuntutan baru dari pemerintah dengan penambahan bea keluar. "Isu pungutan ekspor yang kami belum setujui," kata dia ke KONTAN, Senin (9/2).
Pungutan bea ekspor tentu akan memberatkan pengusaha karena akan meningkatkan biaya pokok produksi. Apalagi, saat ini harga jual batubara di pasar global masih dalam tren menurun dan belum juga mengarah pada peningkatan harga jual yang positif.
Selain itu, pasar domestik batubara juga masih mini skalanya, sehingga pasar ekspor menjadi pilihan utama pengusaha. "Kami meminta pemerintah mempertimbangkan kondisi pasar domestik serta tekanan pasar ekspor saat ini," ujar dia.
Supriatna Suhala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengatakan, renegosiasi PKP2B akan selalu mentok, apabila pemerintah memaksakan pengenaan bea keluar kepada pengusaha. "Ini kan cara lama pemerintahan sebelumnya untuk meningkatkan pajak, dan telah digugat pengusaha," kata dia.
Asal tahu aja, pemerintah sempat menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 95/PMK.02/2005 tentang Penetapan Tarif Pungutan ekspor atas Batubara. Dalam kebijakan tersebut, pemerintah memungut bea ekspor batubara dengan tarif 5% dari harga patokan ekspor (HPE).
Namun, kebijakan tersebut kandas lantaran gugatan pengusaha dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA). "Kalaupun sekarang diatur lagi, pasti kami keberatan karena akan menjadi biaya tambahan sehingga harga jual batubara Indonesia tidak bisa kompetitif," jelas Supriatna.
Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mengatakan, pihaknya telah menerima surat dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) untuk mencantumkan klausul bea ekspor dalam draf amandemen kontrak PKP2B. "Kami sedang kaji penerapan bea keluar," kata dia.
Nantinya, penerapan bea keluar tentunya tidak hanya dikenakan ke perusahaan pemegang PKP2B, namun juga untuk pengusaha pemilik izin usaha pertambangan (IUP).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News