Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Azis Husaini
JAKARTA. Sejumlah asosiasi pengusaha di bidang energi, mulai dari asosiasi pertambangan mineral, batubara, ketenagalistrikan, hingga minyak dan gas bumi, ramai-ramai mendatangi kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Mereka memprotes dan mengeluhkan isi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Sebagai gambaran, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) saat ini tengah menyusun RPP tentang Pengelolaan Limbah B3. Calon aturan ini merupakan aturan turunan dari UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beleid tersebut menyebutkan, seseorang maupun badan usaha wajib mengelola limbah B3 yang telah dihasilkannya.
Nah, RPP tersebut juga menyebutkan berbagai macam jenis-jenis limbah B3 yang dihasilkan dari kegiatan pengusahaan pertambangan. Misalnya, debu (sludge) batubara hasil pengolahan, slag nikel alias buangan sisa peleburan bijih nikel, serta limbah serbuk bor (drilling cutting) dari proses pengeboran sumur migas dan panas bumi.
Menambah biaya
Hendra Sinadia, Sekretaris Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) mengatakan, Kementerian LH seharusnya melibatkan pengusaha dalam merumuskan rancangan peraturan tersebut. "Penerapannya memberatkan pengusaha karena menambah biaya operasional," kata dia, kemarin (8/2).
Hendra menjelaskan, perusahaan pertambangan harus membangun unit baru yang berfungsi sebagai pengolahan limbah B3. Padahal biaya pembangunan unit baru tergolong besar.
Lagi pula, tak semua limbah itu terbuang percuma. Hendra mencontohkan, para pengusaha pertambangan memanfaatkan slag nikel untuk bahan baku pembangunan pondasi jalan raya. Namun, jika merunut RPP Pengelolaan Limbah B3, perusahaan pertambangan tidak boleh memanfaatkannya lagi dan mesti disalurkan ke unit pengolahan.
Padahal, kata Hendra, setiap hari dalam produksi nikel selalu menghasilkan slag nikel dengan volume jutaan ton. "Kami ingin Kementerian LH bersedia untuk diberi masukan. Jangan nanti kalau sudah jadi kami tolak," ujarnya.
Susilo Siswoutomo, Wakil Menteri ESDM, mengatakan, Kementerian ESDM akan menampung keluhan pengusaha dan akan menggelar koordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup (LH) sebelum calon peraturan tersebut diterbitkan. "Mereka sudah melaporkan. Dampaknya bisa fatal jika aturan ini diterapkan, karena itu kami akan mencari solusi," kata dia.
Menurut Susilo, dalam waktu dekat, Kementerian ESDM akan menggelar pertemuan dengan Kementerian LH untuk mengusulkan penentuan limbah pertambangan yang termasuk kategori limbah B3. "Harus spesifik mana yang berbahaya dan mana yang tidak, Indonesia kan juga ikut dalam Konvensi Basel, seharusnya itu bisa dijadikan landasan," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News