kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengusaha jamu kesulitan menerapkan aturan BPOM


Senin, 13 Februari 2012 / 08:39 WIB
Pengusaha jamu kesulitan menerapkan aturan BPOM
ILUSTRASI. Ilustrasi. Daun sirih dan sereh bermanfaat mengobati sakit gigi.


Reporter: Sofyan Nur Hidayat | Editor: Asnil Amri

KOTA. Para pengusaha jamu yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional (GP Jamu) mengaku kesulitan menerapkan aturan Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB) 2011 yang dilansir Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun lalu.

Malah, ada kekhawatiran, sebagian besar perusahaan jamu tradisional bakal gulung tikar karena tidak sanggup menerapkan aturan ini. Charles Saerang, Ketua Umum GP Jamu menghitung, sekitar 90% dari 1.340 anggota GP Jamu adalah perusahaan kecil dan menengah (UKM). Mereka sudah pasti tidak sanggup mengikuti aturan ini.

Misalnya, syarat bangunan pabrik untuk memproduksi jamu. "Kalau mengikuti aturan, biaya yang dibutuhkan untuk membangun tempat produksi minimal bisa Rp 5 miliar. Harga ini belum termasuk lahan," kata Charles Saerang usai bertemu dengan Menteri Perindustrian, Jumat kemarin (10/2).

Beleid ini menyebut bahwa area produksi harus punya beragam fasilitas. Seperti ada ruang administrasi, tempat penyimpanan bahan baku, area pencucian bahan baku, area penyortiran bahan baku, area penimbangan, ruang perajangan, tempat pengolahan, serta harus ada pengawas selama proses produksi.

Setelah proses produksi kelar, alat produksi harus dicuci steril dan disimpan dengan aman. Yang tak kalah penting adalah soal pengemasan yang harus higienis.

Intinya adalah, proses produksi jamu harus memakai mesin. Jadi, tidak lagi bersentuhan dengan tenaga manusia seperti yang banyak dilakukan industri jamu; mulai dari hulu hingga hilir.

Menurut Charles, membeli mesin pengolahan jamu bakal menelan anggaran antara Rp 2 miliar - Rp 3 miliar. Namun, persoalan tak cuma sampai di permesinan saja. Soalnya, tenaga kerja pun jadi sorotan beleid ini. Misalnya saja, ada keharusan menempatkan tenaga apoteker.

Menurut Charles, jangankan pengusaha jamu kecil, perusahaan jamu besar pasti kesulitan memenuhi syarat pabrik jamu yang terbilang ketat ini.
Aturan ini sendiri, menurut Charles, keluar tanpa melibatkan GP Jamu saat penyusunan. Padahal, dampak bisnis dari penerapan aturan ini cukup besar.

Karena itulah, GP Jamu berharap pemerintah segera mencabut beleid yang tidak menguntungkan pebisnis jamu dan obat tradisional ini.
Catatan saja, beleid yang terbit Juni lalu ini merupakan penyempurnaan aturan sebelumnya, yaitu CPOTB 2005.

Tapi, Direktur Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Suplemen Makanan BPOM, Hary Wahyu .T yakin, aturan ini tidak akan mematikan industri jamu. Pasalnya, ada kebijakan khusus untuk industri jamu berskala kecil dan menengah. Mereka bisa memenuhi syarat bertahap. Misalnya untuk tahap pertama mengutamakan unsur higienitas, sanitasi, dan pencemaran mikroba lebih dulu. "Aturan ini bertujuan untuk melindungi konsumen serta industri sendiri," katanya.

Bagi konsumen, aturan itu menyangkut keamanan mengonsumsi obat tradisional. Sedangkan bagi industri, aturan itu bakal mempermudah ekspor karena sudah memenuhi standar internasional. Apalagi, saat ini, setiap kawasan seperti Asean memberlakukan standar khusus bagi produk yang bisa masuk ke kawasan itu.

Menteri Perindustrian MS Hidayat berjanji bakal memperhatikan masukan pengusaha jamu dan bakal ada pertemuan khusus. "Bentuknya breakfast meeting," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×