Sumber: Kontan | Editor: Test Test
JAKARTA. Pengusaha industri galangan kapal dan sarana lepas pantai meradang. Mereka menuntut Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) merevisi Peraturan Menteri (Permen) No 29/2008 tentang Sertifikasi Alat dan Perangkat Telekomunikasi dan Surat Keputusan (SK) Dirjen Postel No 266/2005 tentang Persyaratan Teknis Alat dan Perangka Radio Maritim.
Beleid sertifikasi sejumlah alat dan telekomunikasi kapal itu mereka nilai menyebabkan industri nasional kalah bersaing. Sebab, selain membebani biaya tambahan, aturan itu menghambat pembangunan kapal baru maupun pengadaan kapal bekas
"Bahkan sejak 2009, industri menanggung kerugian hingga Rp 30 miliar lantaran terganjalnya pasokan alat navigasi dan komunikasi impor karena harus melalui sertifikasi dulu," kata Wakil Ketua Bidang Industri Pendukung Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai Indonesia (Iperindo), Novirwan S Said, kemarin.
Pengusaha menilai, aturan itu menciptakan perlakuan yang tidak adil. Di satu sisi, alat dan perangkat telekomunikasi pada kapal buatan di dalam negeri wajib sertifikasi, tapi aturan itu tak berlaku untuk kapal buatan luar negeri yang kemudian beroperasi di Indonesia. Beberapa peralatan navigasi yang berfungsi sebagai alat keselamatan yang harus melalui sertifikasi adalah radar, global positioning system, dan navigation telex.
Menurut Novirman, Indonesia sudah menjadi anggota International Marine Organization (IMO). Artinya, sudah pasti semua kelengkapan kapal yang beroperasi harus sesesuai standar IMO sehingga tak perlu sertifikasi lagi.
Salah satu perusahaan yang merasakan dampak dari aturan ini adalah PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS). Dua unit kapal oil tanker 6.500 DWT buatan DPS yang merupakan pesanan PT Pertamina hingga kini masih belum memperoleh kepastian apakan bisa mendapatkan alat komunikasinya.
"Jadwal pemasangan peralatan komunikasi itu menjadi molor dari yang seharusnya dipasang pada Februari 2010. Padahal, barang radio dan navigasi equipment tersebut, sudah ada di Pelabuhan Tanjung Perak sejak 26 Desember 2009," kata Dirut PT DPS M Firmansyah Arifin. "Ini kan tidak benar. Kami mendesak Menkominfo segera merevisi aturan itu,” lanjut Novirwan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News